Friday 31 July 2015

3. Beristighfar

A. Arti dan makna istighfar

Istighfar dalam pengertian bahasa adalah memohon ampunan atas segala dosa yang dilakukan oleh seorang hamba dengan upaya untuk tidak mengulangi perbuatan tersebut. Hal ini dapat dilakukan baik dengan perkataan maupun perbuatan.

Manusia adalah makhluk yang lemah, adakalanya sering berbuat khilaf dan dosa tanpa disadarinya.

Namun sebaik-baiknya orang yang berbuat dosa adalah yang selalu memohon ampunan atas segala dosa yang telah ia lakukan. Istighfar merupakan salah satu jalan untuk memohon ampun kepada Allah.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

كُلُّ ابْنِ آدَمَ خَطَّاءٌ وَخَيْرُ الْخَطَّائِينَ التَّوَّابُونَ

“Setiap anak Adam melakukan kesalahan. Dan sebaik-baik orang yang melakukan kesalahan adalah mereka yang bertaubat.”

Seseorang itu berpotensi melakukan kesalahan. Namun apabila dosa-dosa itu menyebabkannya menjadi orang yang berputus asa dari rahmat Allah, maka dia akan menjadi orang yang celaka dan binasa. Jika saja orang yang banyak melakukan dosa bertaubat, maka Allah akan terima taubatnya, dan akan Allah balas dengan kebaikan. Allah Ta’ala berfirman,

“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa.” (QS. Ali Imran: 133).

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَالتَّائِبُ مِنَ الذَّنْبِ كَمَنْ لا ذَنْبَ لَهُ

“Orang-orang yang bertaubat dari dosa-dosa, bagaikan orang yang tidak memiliki dosa.”

Oleh karena itu, janganlah seseorang merasa putus asa dari rahmat Allah dan ampunan-Nya. Yang harus dilakukan seseorang adalah bersegera bertaubat kepada-Nya.

Ibnul Qayyim menukil ucapan Syaikhul Islam Abu Isma’il Al Harawi yang mengatakan bahwa konon para salaf mengatakan:
“Seseorang mungkin melakukan suatu dosa, yang karenanya ia masuk Jannah; dan ia mungkin melakukan ketaatan, yang karenanya ia masuk Neraka”.

Bagaimana kok begitu? Bila Allah menghendaki kebaikan atas seseorang, Allah akan menjadikannya terjerumus dalam suatu dosa (padahal sebelumnya ia seorang yang shalih dan gemar beramal shalih).

Dosa tersebut akan selalu terbayang di depan matanya, mengusik jiwanya, mengganggu tidurnya dan membuatnya selalu gelisah. Ia takut bahwa semua keshalihannya tadi akan sia-sia karena dosa tersebut, hingga dengan demikian ia menjadi takluk di hadapan Allah, takut kepada-Nya, mengharap rahmat dan maghfirah-Nya, serta bertaubat kepada-Nya. Nah, akibat dosa yang satu tadi, ia terhindar dari penyakit ‘ujub (kagum) terhadap keshalihannya selama ini, yang boleh jadi akan membinasakan dirinya, dan tersebab itulah ia akan masuk Jannah.

Namun sebaliknya orang yang melakukan suatu amalan besar, ia bisa jadi akan celaka akibat amalnya tersebut. Yakni bila ia merasa kagum dengan dirinya yang bisa beramal ‘shalih’ seperti itu. Nah, kekaguman ini akan membatalkan amalnya dan menjadikannya ‘lupa diri’.

Maka bila Allah tidak mengujinya dengan suatu dosa yang mendorongnya untuk taubat, niscaya orang ini akan celaka dan masuk Neraka.


B. Syarat-syarat tobat

Barangsiapa yang bertaubat kepada Allah, sebanyak apapun dosa dan kesalahannya, Allah akan menghapus semua dosa dan kesalahan tersebut. Dia akan menghapus semua kejelekan yang telah hamba tersebut lakukan. Membersihkannya dari noda dosa jika taubatnya benar-benar jujur, bukan hanya di mulut saja.

Oleh karena itu, taubat pun memiliki syarat agar diterima:

1. Meninggalkan perbuatan dosa.

Apabila seseorang beristighfar kepada Allah, memohon ampunan kepada-Nya, tapi ia tidak berpaling dari perbuatan dosa tersebut, maka taubatnya hanya sebatas ucapan saja. Dia tidak disebut orang yang bertaubat kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Orang yang demikian malah dikatakan orang yang bermain-main saja dengan taubatnya. Meninggalkan perbuatan dosa adalah syarat pertama diterimanya taubat.

2. Bertekad agar tidak kembali melakukan dosa tersebut selama hidupnya.

Apabila saat bertaubat masih ada keinginan kembali melakukan dosa tersebut, taubat yang demikian tidaklah diterima di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala. Harus ada ketetapan di hatinya saat bertaubat, bahwa ia tidak akan mengulangi perbuatan dosa serupa. Apabila di hatinya masih tersimpan hasrat melakukan dosa semisal, maka dosa yang sama yang ia lakukan tidak terhapus.

3. Menyesali perbuatan tersebut.

Menyesali apa terhadap apa yang telah dilakukannya sehingga mengucapkan istigfar dengan sungguh2 dan sepenuh hati.

4. Mengembalikan hak orang yang kita zholimi

Apabila dosa tersebut terkait dengan kezaliman sesama manusia dalam hak atau harta mereka, maka disyaratkan harus mengembalikan harta atau meminta maaf kepada mereka. Jadi taubat itu bukan hanya di lisan saja.

5. Ketika nyawa belum sampai tenggorokan

Seseorang yang menunda taubat hingga nyawanya berada di tenggorokan, yang saat itu ia tahu akan berpisah dengan kehidupan, maka tidak diterima taubatnya. Taubat adalah di saat sehat dan di saat hidup. Adapun taubat saat seseorang sudah merasa hidupnya akan berakhir, maka tidak diterima taubatnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Sesungguhnya Allah menerima taubat hamba selama nyawa belum sampai di tenggorokan.”


C. Keutamaan istigfar

Ada beberapa keutamaan istighfar yang diberikan bagi mereka yang suka membiasakan membaca istighfar, diantaranya :

1. Istighfar bisa menghapus dosa

Para ulama membatasi bahwa dosa yang bisa dihapus dengan membaca istighfar adalah dosa-dosa kecil, sedangkan dosa-dosa besar bisa dihapus jika dibarengi dengan taubat nashuha.

"Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan dan menganiaya dirinya, kemudian ia mohon ampun kepada Allah, niscaya ia mendapati Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang" (An-Nisa 110)

2. Istighfar akan mengangkat azab tertentu yang menimpa manusia

"Dan Allah sekali-kali tidak akan mengazab mereka, sedang kamu berada di antara mereka. Dan tidaklah (pula) Allah akan mengazab mereka, sedang mereka meminta ampun ". (Al-Anfal:33)

3. Allah akan memberikan kehidupan yang lebih baik bagi mereka yang selalu beristighfar, mendapatkan rasa aman, damai dan ketenangan jiwa.

"Dan hendaklah kamu meminta ampun kepada Tuhanmu dan bertaubat kepada-Nya. (Jika kamu mengerjakan yang demikian), niscaya Dia akan memberi kenikmatan yang baik (terus menerus) kepadamu sampai kepada waktu yang telah ditentukan dan Dia akan memberikan kepada tiap-tiap orang yang mempunyai keutamaan (balasan) keutamaannya". (Huud : 3)

4. Istighfar sebagai penyebab turunnya hujan

"Maka aku katakan kepada mereka: 'Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, - sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun, niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat" . (Nuh: 10-11)

5. Menyebabkan masuk surga

“Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui. Mereka itu balasannya ialah ampunan dari Tuhan mereka dan surga yang didalamnya mengalir sungai-sungai, sedang mereka kekal didalamnya; dan itulah sebaik-baik pahala orang-orang yang beramal.” (QS.Ali’Imran: 135-136)

6. Menghilangkan kesusahan dan memudahkan rezeki

"Barang siapa yang selalu beristighfar, maka Allah akan menjadikan keluh kesah kegembiaran, kesempitan menjadi keleluasaan. (HR.Ahmad dan Abu Daud)

7. Memperoleh anak- anak shaleh

Surat Nuh ayat 10-12

فَقُلْتُ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ إِنَّهُ كَانَ غَفَّارًا
يُرْسِلِ السَّمَاءَ عَلَيْكُمْ مِدْرَارًا
وَيُمْدِدْكُمْ بِأَمْوَالٍ وَبَنِينَ وَيَجْعَلْ لَكُمْ جَنَّاتٍ وَيَجْعَلْ لَكُمْ أَنْهَارًا

Maka aku (Nuh) berkata kepada mereka: ‘Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, -sesungguhnya Dia Maha Pengampun-,
Niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat,
Dan membanyakkan harta dan anak-anakmu, dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai."

D. Waktu, bilangan dan Jenis- jenis bacaan istighfar

Untuk masalah waktu, memang ada hadits yang menunjukkan membaca istighfar pada waktu tertentu, dan pada waktu-waktu ini sebaiknya kita tidak boleh meninggalkan membaca istighfar. Namun ada hadits lain juga tidak membatasi waktu dan tempat dalam membaca istighfar. Yang jelas, biasakanlah tiap hari kita membaca istghfar, tiada hari tanpa istighfar.

Untuk masalah bilangan atau berapa kali kita membaca istighfar, memang ada hadits yang membatasi sekian kali untuk bacaan istighfar tertentu. Namun, karena kekhilapan kita tak bisa kita hitung, maka bacalah istighfar sebanyak mungkin sekemampuan kita.

Namun demikian, ada waktu-waktu yang hendaknya dipakai untuk memperbanyak istighfar adalah :
1. Sesudah shalat
2. Waktu sahur
3. Pagi/setelah shalat subuh
4. Malam/setelah shalat maghrib

Ada beberapa macam bacaan istighfar berdasarkan ayat-ayat Al Quran dan hadits.

Silahkan pilih bacaan istighfar yang kita mau.

1.

رَبَّنَآ إِنَّنَآ ءَامَنَّا فَاغْفِرْ لَنَا ذُنُوبَنَا وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ


Rabbanaa innanaa aamannaa faghfir lanaa dzunuubanaa waqinaa 'adzaaban naar.

Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah beriman, maka ampunilah segala dosa kami dan peliharalah kami dari siksa neraka.
(Ali Imran Ayat : 16)

2.

للَّهُمَّ أَنْتَ رَبِّيْ لاَ إِلَـهَ إِلاَّ أَنْتَ، خَلَقْتَنِيْ وَأَنَا عَبْدُكَ، وَأَنَا عَلَى عَهْدِكَ
وَوَعْدِكَ مَا اسْتَطَعْتُ، أَعُوْذُ بِكَ مِنْ شَرِّ مَا صَنَعْتُ، أَبُوْءُ لَكَ بِنِعْمَتِكَ
عَلَيَّ، وَأَبُوْءُ بِذَنْبِيْ فَاغْفِرْ لِيْ فَإِنَّهُ لاَ يَغْفِرُ الذُّنُوْبَ إِلاَّ أَنْتَ


"Allahumma anta robbii laa ilaaha illaa anta, kholaqtanii wa ana ‘abduka wa ana ‘ala ‘ahdika wa wa’dika mastatho’tu. A’udzu bika min syarri maa shona’tu, abuu-u laka bini’matika ‘alayya, wa abuu-u bi dzanbii, faghfirlii fainnahuua laa yaghfirudz dzunuuba illa anta"

”Ya Allah Engkau adalah Tuhanku, Tidak ada sesembahan yang haq kecuali Engkau,Engkau yang menciptakanku, sedang aku adalah hamba-Mu dan aku diatas ikatan janji -Mu dan akan menjalankannya dengan semampuku, aku berlindung kepadamu dari segala kejahatan yang telah aku perbuat, aku mengakui-Mu atas nikmat-Mu terhadap diriku dan aku mengakui dosaku pada-Mu, maka ampunilah aku, sesungguhnya tiada yang mengampuni segala dosa kecuali Engkau”
(HR. Bukhari no. 6306)

3.

اَسْتَغْفِرُاللهَ


Astaghfirullaah

Aku memohon ampunan kepada Allah.
(HR Muslim)

4.

رَبِّ اغْفِرْلِيْ وَتُبْ عَلَيَّ اِنَّكَ اَنْتَ
التَّوَّابُ الرَّحِيْمُ


"Rabbighfirlii watub 'alayya innaka antat tawwaabur rahiim"

“Wahai Rabbku, ampunilah aku dan terimalah taubatku. Sesungguhnya Engkau Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.”
(Sunan Abu Daud, Turmudzi, Ibnu Majah)

5.

اَسْتَغْفِرُاللهَ الّذِيْ لاَ اِلَهَ اِلَّا هُوَ الحَيُّ القَيُّوّمُ وَاَتُوْبُ اِلَيْهِ


Astaghfirullahal ladzii laa ilaaha illaa huwal hayyul qayyuumu wa atuubu ilaihi

Aku meminta pengampunan kepada Allah yang tidak ada tuhan selain Dia Yang Maha Hidup dan Berdiri Sendiri dan aku bertaubat kepadanya.
(Sunan Abu Daud, Turmudzi)


6
. الَّلهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّي

Allahumma on nama 'afuwwun tuhibbul 'afwa fa'fu'annii

Doa istighfar yang paling baik diucapkan pada malam lailatul qadar sebagaimana hadist:

وَعَنْ عَائِشَةَ رَضِي اللهُ عَنْهَا قَالَتْ : قُلْتُ : يَا رَسُوْلَ اللهِ أَرَأَيْتَ إِنْ عَلِمْتُ أَيْ لَيْلَةَ الْقَدَرِ مَا أَقُوْلُ فِيْهَا ؟ قَالَ : ” قُوْلِي : الَّلهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّي
Dari Aisyah ra : Wahai RasuluLLAAH, menurut pendapatmu jika aku tahu bhw malam terjadinya Laylatul Qadar, maka doa apa yg paling baik kuucapkan? Sabda Nabi SAW : “Ucapkanlah olehmu, Ya ALLAH sesungguhnya ENGKAU adalah Maha Pemaaf, mencintai orang yg suka memaafkan, maka maafkanlah aku.” (HR Ahmad, Ibnu Majah & Tirmidzi, di-shahih-kan oleh Albani dlm Al-Misykah,

Penutup

Sesungguhnya salah satu nikmat terbesar di dunia ini yang dapat membawa kita menuju kesuksesan dunia dan akhirat adalah diampuni semua dosa2 kita. Dimana saat dosa2 kita telah diampuninya maka hidup akan berlimpahkan rizki, kemudahan dan  kelapangan, berlimpahnya hujan yang penuh berkah serta segala kesusahan hidup di dunia akan diberi solusinya. Sedangkan saat di akhirat kelak akan dimasukkan dalam surga-Nya.

Bahkan doa terbaik bila kita menemui lailatul qadar adalah memohon agar diampuni atas segala dosa-dosa kita.

Semoga dosa-dosa yang telah kita lakukan diampuni oleh-Nya sehingga masa depan kita jauh lebih baik daripada masa sebelumnya. Aamiin..3x

2. Bersabar

"Bersabar"

A. Pengertian dan makna bersabar

Secara terminologis sabar berarti menahan diri dari segala sesuatu yang tidak di sukai karena mengharap ridha Allah.Yang tidak di sukai itu tidak selamanya terdiri dari hal-hal yang tidak di senangi seperti musibah kematian, sakit, kelaparan dan sebagainya, tapi juga bisa berupa hal-hal yang di senangi. Sabar dalam hal ini berarti menahan dan mengekang diri dari memperturutkan hawa nafsu.

Dengan kata lain sabar ialah tetap tegaknya dorongan agama berhadapan dengan dorongan hawa nafsu. Dorongan agama ialah hidayah Allah kepada manusia untuk mengenal Allah, Rasul serta mengamalkan ajaran-Nya. Sedangkan dorongan hawa nafsu ialah tuntutanf syahwat dan keinginan-keinginan rendah yang minta di laksanakan.

Menurut M. Jamaluddin barang siapa yang tegak bertahan sehingga dapat menundukkan dorongan hawa nafsu secara terus menerus maka orang tersebut termasuk golongan orang yang sabar.


Kesabaran merupakan salah satu sifat sekaligus ciri orang mukmin, sebagaimana hadis yang diriwayatkan Imam Muslim yang artinya: “Sungguh menakjubkan perkara orang yang beriman, kerana segala perkaranya adalah baik. Jika ia mendapatkan kenikmatan, ia bersyukur kerana (ia mengetahui) bahawa hal tersebut adalah memang baik baginya. Dan jika ia tertimpa musibah atau kesulitan, ia bersabar kerana (ia mengetahui) bahwa hal tersebut adalah baik baginya.”

Boleh jadi Allah mengujinya dengan berbagai ujian, dan kewajiban hamba saat itu ialah bersabar.

Perlu kita pahami bahwa Allah menguji hamba-Nya bukan karena Dia ingin membinasakan si hamba, namun untuk mengetes sejauh mana penghambaan kita terhadap-Nya.

“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: “Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji´uun”.” (QS. Al-Baqarah: 155-156).

“Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan.” (QS. Al-Anbiya: 35).

Fitnah yang dimaksud dalam ayat di atas adalah ujian. Allah uji manusia dengan kebaikan dan keburukan. Orang yang diuji dengan kejelekan ia bersabar dan ketika diuji dengan kenikmatan ia bersyukur, inilah orang-orang yang mendapatkan kebahagiaan.

Adapun orang-orang yang jika diberi nikmat dia kufur. Jika ditimpa musibah, dia murka kepada takdir Allah. Inilah orang-orang yang celaka dan binasa. Orang yang demikian tidak akan mencapai derajat yang utama dan tidak pula apa yang mereka dapatkan bermanfaat dari apa yang mereka lakukan. Apa yang mereka lakukan hanya akan mengantarkan kepada kehancuran.

Ketahuilah, sabar didunia itu sangat bermanfaat, karena Allah mencintai orang yang sabar serta selalu menyertainya, sesuai dengan firman-Nya:

"Allāh mencintai orang-orang yang sabar." (Āli 'Imrān 146)

“Allāh bersama orang-orang yang sabar” (Al-Baqarah 153)

B. Pembagian sabar

Berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Ad-Dunia, serta penjelasan para ulama, bahwa kesabaran dapat dibagi menjadi tiga yaitu:

1. Sabar dalam ketaatan kepada Allah

Dalam merealisasikan ketaatan kepada Allah memang memerlukan kesabaran, kerana pada umumnya jiwa manusia berat untuk beribadah dan berbuat ketaatan.

2. Sabar dalam meninggalkan kemaksiatan

Meninggalkan kemaksiatan juga memerlukan kesabaran yang besar, terutamanya pada kemaksiatan yang sangat mudah untuk dilakukan, seperti berkata dusta, mengingkari janji, memandang sesuatu yang dilarang dan lain-lain.

3. Sabar dalam menghadapi musibah atau malapetaka

Menghadapi musibah atau malapetaka memerlukan kesabaran, dan sabar itu perlu dimulai seawal detakan yang pertama, bukanlah di tengah-tengah ataupun di akhir musibah.


C. Pendapat para sahabat dan orang2 shaleh terdahulu tentang keutamaan sabar

Dalam kitab "Uddatush Shaabirin wa Dzakhiratusy Shaabirin ( Miskin bersabar ataukah kaya bersyukur?)" Karangan Al-Imam Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah. Hal. 159 dituliskan beberapa ungkapan para sahabat dan orang2 shaleh terdahulu tentang keutamaan sabar, yaitu:

1. Umar bin Khatab ra berkata, "Kami mendapati kehidupan kami yang terbaik dengan kesabaran"

2. Ali bin Abi thalib ra berkata, "Ketahuilah, sesungguhnya kedudukan sabar dalam iman laksana kepala bagai jasad. Apabila kepala dipotong maka jasmani pasti binasa." Beliau berkata pula, " Kesabaran itu karunia yang tidak ada habisnya".

3. Al - Hasan ra berkata," Kesabaran itu perbendaharaan kebajikan yang Allah tidak akan memberikannya kecuali kepada seorang hamba yang mulia di sisi-Nya."

4. Umar bin Abdul Aziz ra berkata, " Tidaklah Allah memberikan suatu nikmat kepada seorang hamba lalu dicabut-Nya. Lalu Dia menggantikan nikmat itu dengan kesabaran, melainkan apa yang Allah gantikan akan lebih baik dibandingkan apa yang Dia cabut."

5. Wahab berkata, " Buah kebodohan adalah kelelahan, buah murah hati adalah ketentraman, dan buah sabar adalah kemenangan."

6. Yunus bin Zaidi berkata: Saya bertanya kepada Rabi'ah bin Abi Abdirrahman: "Apakah puncak kesabaran?" Beliau menjawab:" Hari ketika dia tertimpa musibah sama saja dengan sebelum ditimpa musibah"



Penutup

Sabar berarti menahan diri dari segala sesuatu yang tidak di sukai karena mengharap ridha Allah, baik dalam menemukan sesuatu yang tidak di ingini ataupun dalam bentuk kehilangan sesuatu yang disenangi.

Semoga dianugrahi untuk dapat menjadi orang yang memiliki kesabaran dalam menjalani kehidupan ini sampai akhir nafas kita sabar, aamiin..3x

1. Bersyukur

"Bersyukur"

A. Pengertian dan makna bersyukur

Hakikat syukur ialah mengungkapkan pujian kepada Sang Pemberi Kebahagiaan, yaitu Allah.
Sebab, segala anugerah datang dari-Nya.

Manusia mendapat curahan nikmat yang tak terhingga dari Allah, dan inilah mengharuskannya untuk bersyukur.

Kalau kita sedari banyak sekali nikmat yang telah Allah SWT berikan kepada kita dan bahkan kalau mahu dihitung sungguh tidak ada siapa sanggup menghitungnya. Maka sungguh beruntung orang yang mampu bersyukur.

“Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tak dapat menentukan jumlahnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Mahapengampun lagi Mahapenyayang.” (QS an-Nahl [16]: 18).


Apabila seseorang, Allah berikan suatu nikmat kepadanya, maka ia akan bersyukur kepada Allah atas kenikmatan tersebut. Dan sesungguhnya syukur itu diciptakan oleh Allah untuk kebaikan hamba-hambaNya jua sebagaimana firmanNya:

"Barang siapa yang bersyukur (kepada Allah), maka sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri, dan barang siapa yang tidak bersyukur maka sesungguhnya Allah Maha Kaya Lagi Maha Terpuji." (Lukman: ayat 12)


B. Cara untuk bersyukur

Para ulama mengemukakan 3 cara untuk bersyukur:

a. Bersyukur dengan hati nurani.

Hati nurani manusia selalu benar dan jujur. Maka orang yang bersyukur dengan hati nuraninya sebenarnya tidak akan pernah mengingkari banyaknya nikmat Allah.

Pada hati yang paling dalam, kita sebenarnya mampu menyedari seluruh nikmat yang kita peroleh tidak lain melainkan semuanya berasal dari Allah.

Ini bisa dilakukan setiap hari menjelang malam, salah satunya. Pejamkan mata dan renungkan apa saja kenikmatan di hari itu yang telah Anda terima. Berterima kasihlah kepada Allah. Dengan begitu, kita akan menyadari bahwa nikmat Allah sangat besar.

Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi Ulil Albab. (Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka". (Ali Imran: 190-191)

b. Bersyukur dengan ucapan.

Ungkapan yang paling baik untuk menyatakan syukur kita kepada Allah adalah melafazkan hamdalah.

Dalam sebuah hadis, Rasulullah SAW bersabda, ”Barangsiapa mengucapkan SubhanAllah, maka baginya 10 kebaikan. Barangsiapa membaca La ilaaha illAllah, maka baginya 20 kebaikan. Dan barangsiapa membaca Alhamdulillah, maka baginya 30 kebaikan.”

c. Bersyukur dengan perbuatan, yang biasanya dilakukan anggota tubuh.

Tubuh yang diberikan Allah kepada manusia sebaiknya dipergunakan untuk hal-hal yang positif mengikut fungsinya.

Dalam surat An-Nahl ayat 78 yang bererti: “Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.”

Dan, syukur harus menjadi sarana taat kepada Allah. Ketika banyak rezeki, jangan hanya dibicarakan, berbuatlah sesuatu yang bermanfaat. Bantulah sesama yang membutuhkan. Tunaikan zakat dan berinfaklah. Karena, kesemuanya itu adalah bukti nyata rasa syukur.

Syukur itu bukan hanya di lisan saja. Akan tetapi syukur itu hadir di lisan dengan ucapan, di hati dengan pengakuan, dan pada anggota badan dengan amalan ketaatan.


C. Keutamaan bersyukur

Beberapa keutamaan bersyukur, diantaranya:
1. Allah akan mempermudah jalan bagi kita untuk meraih impian dan kesuksesan.
"Yang membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-baiknya dan Yang memulai penciptaan manusia dari tanah. Kemudian Dia menjadikan keturunannya dari saripati air yang hina. Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalamnya roh (ciptaan)Nya dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan, dan hati; (tetapi) kamu sedikit sekali bersyukur." (As-Sajdah: ayat 7-9)

2. Akan selalu diperhatikan dan diingat oleh Allah
“karena itu ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat ( pula ) kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku dan janganlah kamu mengingkari nikmat-Ku”. (QS.Albaqarah : 152)

3. Akan mengikat dan menambah nikmat yang ada serta terhindar dari azab Allah.
"Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmatKu) maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih” (QS: Ibrahim : 7)

4. Allah SWT menjanjikan balasan yang baik bagi sesiapa pun yang pandai bersyukur.
"Dan tanah yang baik, tanaman-tanamannya tumbuh subur dengan izin Allah; dan tanah yang tidak subur, tanaman-tanaman yang tidak subur, tanaman-tanaman hanya tumbuh merana. Demikianlah kami mengulangi tanda-tanda kebesaran (Kami) bagi orang-orang yang bersyukur." (Al-A’raaf: ayat 58)

Penutup

Bersyukur merupakan salah satu sikap yang penting dalam kehidupan seorang muslim. Syukur ini berkaitan dengan hati, lisan, dan anggota badan. Hati untuk Mahabbah / merasakan, lisan untuk memuji, anggota badan untuk menggunakan nikmat yang diterima.

Marilah kita sama-sama berharap akan pertolongan-Nya, semoga Allah Yang Maha Pemurah, agar sentiasa menggolongkan kita sebagai hamba-hamba-Nya yang mampu bersyukur.

“Ya Tuhanku, anugerahilah aku ilham untuk tetap mensyukuri nikmat-Mu yng telah Engkau anugerahkan kepadaku dan kepada kedua-dua orang tuaku dan agar aku mengerjakan kebajikan yang Engkau redhai; dan masukkanlah aku dengan rahmat-Mu ke dalam golongan hamba-hamba-Mu yang soleh." (An-Naml: ayat 19)

Tiga Kunci Kehidupan Dalam Menggapai Kesuksesan Dunia dan Akhirnya

Ada tiga kunci kehidupan dalam menggapai kesuksesan dunia dan akhirat, yaitu:

1. Bersyukur
2. Bersabar
3. Beristigfar

Dalam mukaddimah kitab Al Waabilush Shayyib, Imam Ibnul Qayyim mengatakan bahwa kehidupan manusia berputar pada tiga poros: Syukur, Sabar, dan Istighfar. Seseorang takkan lepas dari salah satu dari tiga keadaan:

Pada saat kita memperoleh kenikmatan, maka sikap yang paling tepat adalah bersyukur.

Pada saat memperoleh ujian kesempitan dan kesengsaraan maka sikap yang paling cocok adalah bersabar.

Sedangkan pada saat kita tergelincir dalam sebuah dosa dan kesalahan, maka solusi yang paling pas adalah beristigfar.

7. Husnuzhan



A. Pengertian dan makna husnuzan

Husnuzan berasal dari kata husnul yang berarti baik dan zan yang berarti prasangka. Jadi secara sederhana Husnuzhan adalah prasangka atau dugaan baik.

Prasangka baik adalah suatu sikap atau perilaku yang memiliki prasangka baik, berpikiran positif, berpandangan mulia terhadap apa yang ada di hadapannya. Seorang yang memiliki sikap husnuzan akan mepertimbangkan segala sesuatu dengan pikiran jernih, pikiran dan hatinya bersih dari prasangka yang belum tentu kebenaranya.

Sebaliknya orang yang pemikirannya senantiasa dikuasai oleh sikap su’uzan selalu akan memandang segala sesuatu jelek, seolah-olah tidak ada sedikit pun kebaikan dalam pandanganya, pikirannya telah dikungkung oleh sikap yang menganggap orang lain lebih rendah dari pada dirinya. Sikap buruk sangka identik dengan rasa curiga, cemas, amarah dan benci padahal kecurigaan, kecemasan, kemarahan dan kebencian itu hanyalah perasaan semata yang tidak jelas penyebabnya, terkadang apa yang ditakutkan bakal terjadi pada dirinya atau orang lain sama sekali tak terbukti.


Perilaku husnuzan termasuk akhlak terpuji karena akan mendatangkan manfaat. Sedangkan perilaku suuzan termasuk akhlak tercela karena akan mendatangkan kerugian.

Sungguh tepat jika Allah SWT dan rasul-Nya melarang perilaku buruk sangka. Sesuai dengan firman-Nya pada surat Al-Hujurat ayat 49 yang artinya:
“Jauhkanlah dirimu dari berprasangka buruk, karena berprasangka buruk itu sedusta-dusta pembicaraan (yakni jauhkan dirimu dari seseorang berdasarkan sangkaan saja).” (Hr Bukhari dan Muslim)

B. Pembagian husnuzan

1. Husnuzan kepada Allah

Husnuzan kepada Allah artinya adalah berprasangka baik terhadap semua keputusan Allah atau takdir Allah yang telah ditetapkan kepada manusia. Disamping itu, juga meyakini Asma', sifat serta perbuatan Allah yang layak bagi-Nya.

Sebuah keyakinan yang menuntut pengaruh yang  nyata. Misalnya, meyakini bahwa Allah merahmati semua hamba-Nya dan memaafkan mereka jika mereka bertaubat dan kembali kepada-Nya. Allah akan menerima amal ketaatan dan ibadah mereka. Serta meyakini, Allah mempunyai hikmah yang sempurna dalam setiap yang Dia takdirkan dan tentukan.

Sedangkan siapa yang menyangka, husnudzan kepada Allah Ta'ala tidak disertai amal apapun, maka ia salah besar dan tidak memahami ibadah agung ini sesuai dengan pemahaman yang benar.

Ibnul Qayyim berkata,
"Telah nampak jelas perbedaan antara husnudzan dengan ghurur (tipuan). Adapun Husnuzan, jika ia mengajak dan mendorong beramal, membantu dan membuat rindu padanya: maka ia benar. Jika mengajak malas dan berkubang dengan maksiat: maka ia ghurur (tipuan). Husnuzan adalah raja' (pengharapan). Siapa yang pengharapannya mendorongnya untuk taat dan menjauhkannya dari maksiat: maka ia pengharapan yang benar. Sedangkan siapa yang kemalasannya adalah raja' dan meremehkan perintah: maka ia tertipu." (Al-Jawab al-Kaafi: 24)

Al-Hasan al-Bashri berkata,
" Sesungguhnya seorang mukmin selalu berhusnudzan kepada Tuhannya lalu ia memperbagus amalnya. Dan sesungguhnya seorang pendosa berpesangka buruk kepada Tuhannya sehingga ia berbuat yang buruk." (Diriwayatkan Imam Ahmad dalam al-Zuhd, hal. 402)

Abu al-Abbas al-Qurthubi rahimahullah berkata, "berperasangka (yakin) dikabulkan doa saat berdoa, diterima saat bertaubat, diampuni saat istighfar, dan berperasangka akan diterima amal-amal saat menjalankannya sesuai dengan syarat-syaratnya; ia berpegang teguh dengan Dzat yang janji-Nya benar dan karunia-Nya melimpah. Hal ini dikuatkan oleh Sabda Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam,
"Berdoalah kepada Allah sementara kalian yakin diijabahi." (HR. Al-Tirmidi dengan sanad shahih)

Seandainya ia menjalankan amal-amal tersebut dengan keyakinan atau prasangka bahwa Allah tidak akan menerimanya dan amal-amal tersebut tak memberikan manfaat baginya, itu namanya putus asa dari rahmat Allah. Sedangkan berputus asa dari rahmat Allah termasuk dosa besar.

Husnuzan kepada Allah, ini dapat ditunjukan dengan sifat syukur, sabar, tawakal, dan ikhlas dalam menjalani hidup.

2. Husnuzan kepada orang lain


Husnuzan kepada orang lain berarti berprasangka baik terhadap semua yang dilakukan oleh orang lain. Berprasangka baik artinya menanggap bahwa apa yang dilakukan orang lain, baik yang terlihat jahat adalah baik, apalagi yang baik tentu baik, kecuali perbuatannya jelas melanggar syariat.
Semua orang dipandang baik sebelum terbukti kesalahan atau kekeliruannya, sehingga tidak menimbulkan kekacauan dalam pergaulan.

Husnuzan atau berbaik sangka terhadap sesama manusia, merupakan sikap mental terpuji, yang harus diwujudkan melalui sikap lahir, ucapan dan perbuatan yang baik, diridai Allah SWT, dan bermanfaat.

Sikap, ucapan, dan perbuatan baik, sebagai perwujudan dari husnuzan itu hendaknya diterapkan dalam kehidupan berkeluarga, bertetangga serta bermasyarakat.

Antara tetangga yang satu dengan yang lainnya hendaknya saling menghormati dan menghargai.

“Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaknya ia berbuat baik kepada tetangganya.” (HR. Muslim no. 47)

3. Husnuzan terhadap diri sendiri

Husnuzan terhadap diri sendiri berarti bahwa segala yang melekat pada diri kita, baik yang kita sukai maupun yang tidak kita sukai merupakan pemberian yang terbaik dari Allah kepada kita.
Husnuzan ini dapat memotivasi seseorang untuk memperdayagunakan pemberian dari Allah pada jalan yang telah Allah ridai.

Orang yang memiliki sikap husnuzan terhadap diri sendiri akan senantiasa memiliki semangat yang tinggi untuk meraih sukses dalam setiap langkahnya. Sebab ia telah mengenali dengan baik kemempuan yang dimilikinya, sekaligus menerima kelemahan yang ada pada dirinya, sehingga ia dapat menetahui kapan ia harus maju dan tampil di depan dan kapan harus menahan diri karena tidak punya kemampuan di bidang itu.

Husnuzan kepada diri sendiri, ditunjukan dengan sikap percaya diri, optimis, gigih, rela berkorban serta inisiatif

C. Hikmah husnuzan

Di antara hikmah husnuzan adalah sebagai berikut :
1.  Menumbuhkan perasaan cinta kepada Allah, artinya melaksanakan perintah Allah dan  Rasul serta menjauhi segala larangannya,
2. Melaksanakan jihad fisabillilah dan mencintai sesama manusia karena Allah.
3. Menumbuhkan perasaan syukur kepada Allah atas segala nikmat-Nya.
4.  Menumbuhkan sikap sabar dan tawakal.
5.  Menumbuhkan keinginan untuk berusaha beroleh rahmat dan nikmat Allah
6. Mendorong manusia mencapai kemajuan.
7. Menimbulkan ketentraman.
8. Menghilangkan kesulitan dan kepahitan.
9. Membuahkan kreasi yang produktif dan daya cita yang berguna.
10. Hidup menjadi tenang dan penuh optimis.
11. Yakin bahwa terdapat hikmah dibalik segala cobaan.
12.Membentuk pribadi yang tangguh, kreatif dan tidak mudah putus asa.
13. Menumbuhkan sikap peduli, santun, tulus, pemaaf, dan tidak emosional.

Penutup:

Setiap Muslim/Muslimah, hendaknya membiasakn diri dengan berperilaku husnuzan terhadap Allah SWT, terhadap sesama manusia, maupun terhadap diri sendiri.

1. Seorang Muslim/Muslimah yang berperilaku husnuzan terhadap Allah SWT, tentu akan senantiasa bertakwa kepadanya, di mana pun dan kapan pun dia berada.Ia akan selalu bersyukur pada Allah SWT bila berada dalam situasi yang menyenangkan dan akan senantiasa bersabar bila berada dalam keadaan yang menyusahkan.

2. Setiap Muslim/Muslimah hendaknya membiasakan diri untuk berperilaku husnuzan terhadap manusia,baik dalam kehidupan berkeluarga dan bertetangga, maupun dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

3. Demikian juga, Seorang Muslim/Muslimah yang berperilaku husnuzan terhadap dirinya sendiri, tentu akan membiasakan diri dengan bersikap dan berperilaku terpuji yang bermanfaat bagi dirinya, seperti percaya diri, gigih, rela berkorban dan banyak berinisiatif yang positif.

Insya Allah, jika setiap Muslim/Muslimah dan setiap anggota masyarakat, telah membiasakan diri untuk berperilaku husnuzan dalam kehidupan sehari-hari, mereka akan memperoleh kebaikan-kebaikan yang banyak.

Mudah2an kita dapat senantiasa bersikap Husnuzhan dalam kehidupan sehari-hari kita. Aamiin..3x

6. JUJUR



A. Pengertian dan makna jujur

Kata jujur sama maknanya dengan benar, atau berkata benar.

Kejujuran adalah perhiasan orang berbudi mulia dan orang yang berilmu.

Kejujuran merupakan pondasi utama atas tegaknya nilai-nilai kebenaran karena jujur itu identik dengan kebenaran.

Sifat jujur merupakan faktor terbesar tegaknya agama dan dunia. Kehidupan dunia tidak akan baik, dan agama juga tidak bisa tegak di atas kebohongan, khianat serta perbuatan curang.

Orang yang beriman perkataannya harus sesuai dengan perbuatannya (jujur) karena sangat berdosa besar bagi orang-orang yang tidak mampu menyesuaikan perkataannya dengan perbuatan, atau berbeda apa yang di lidah dan apa yang diperbuat.

Rasulullah mengajarkan kepada kita agar selalu hidup jujur. Jujur dalam berbicara dan jujur dalam beramal.

Ketika seseorang sudah berani berbicara tidak jujur, minimal madaratnya akan dirasakan di dalam hatinya. Ia tidak tenang berhadapan dengan orang yang dibodohinya, karena takut ketahuan. Selain itu, sekali tidak jujur, maka pintu-pintu kebohongan akan terus dibuka yang pada akhirnya menjadi pembohong.

B. Jenis-jenis Kejujuran

Kejujuran dapat terbagi menjadi 5 jenis, yaitu:

1. Jujur dalam berniat

Kejujuran yang tertanam dalam hati akan membuahkan ketentraman, sebagaimana firman-Nya, “(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tentram.” (Q.S. Ar-Ra’d [13]: 28)

2. Jujur saat berucap

Jujur saat berkata adalah harga yang begitu mahal untuk mencapai kepercayaan orang lain. Orang yang dalam hidupnya selalu berkata jujur, maka dirinya akan dipercaya seumur hidup. Tetapi sebaliknya, jika sekali dusta, maka tak akan ada orang yang percaya padanya. .
sebagaimana firman-Nya,

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar, niscaya Allah memperbaiki bagimu amalan-amalanmu dan mengampuni bagimu dosa-dosamu. Dan barang siapa menaati Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar.” (Q.S. Al-Ahzab [33]: 70-71)

3. Jujur kala berbuat

Amal adalah hal terpenting untuk meraih posisi yang paling mulia di surga. Oleh karena itu, kita harus selalu mengikhlaskan setiap amal yang kita lakukan. Dalam berdakwah pun, kita harus menyesuaikan antara ungkapan yang kita sampaikan kepada umat dengan amal yang kita perbuat. Jangan sampai yang kita sampaikan kepada umat tidak sesuai dengan amal yang kita lakukan sebab Allah Swt. sangat membenci orang-orang yang banyak berbicara tetapi sedikit beramal.

“Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tiada kamu kerjakan.” (Q.S. Ash-Shaff [61]: 2-3)

4. Jujur bila berjanji

Janji yang benar membuat kita bahagia. Janji palsu membuat kita selalu was-was. Maka janganlah memperbanyak janji (namun tidak ditepati) karena Allah Swt. sangat membenci orang-orang yang selalu mengingkari janji sebagaimana dalam firman-Nya:

“Dan tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kamu berjanji dan janganlah kamu membatalkan sumpah-sumpah(mu) itu, sesudah meneguhkannya, sedang kamu telah menjadikan Allah sebagai saksimu (terhadap sumpah-sumpah itu). Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.” (Q.S. An-Nahl [16]: 91)

5. Jujur dalam kenyataan

Orang mukmin hidupnya selalu berada di atas kenyataan. Dia tidak akan menampilkan sesuatu yang bukan dirinya. Dia tidak pernah memaksa orang lain untuk masuk ke dalam jiwanya. Dengan kata lain, seorang mukmin tidak hidup berada di bawah bayang-bayang orang lain.

Artinya, kita harus hidup sesuai dengan keadaan diri kita sendiri. Dengan bahasa yang sederhana, Rasulullah Saw. mengingatkan kita dengan ungkapan, “Orang yang merasa kenyang dengan apa yang tidak diterimanya sama seperti orang memakai dua pakaian palsu.” (H.R. Muslim).

Dari ungkapan ini, Rasulullah Saw. menganjurkan kepada umatnya untuk selalu hidup di atas kenyataan dan bukan hidup dalam dunia yang semu.

C. Keutamaan-keutamaan jujur

Beberapa keutamaan memiliki karakter jujur, diantaranya adalah:

1. Memperoleh Ketenangan Jiwa

Rasulullah SAW bersabda,

اَلإِثْمُ مَاحَاكَ فِى نَفْسِكَ وَكَرِهْتَ أَنْ يَطَّلِعَ عَلَيْهِ النَّاسَ

“Dosa adalah sesuatu yang menggelisahkan jiwamu dan kamu tidak suka bila hal itu diketahui orang lain.” (HR. Ahmad)

2. Memperoleh Keberkahan Hidup

Rasulullah SAW bersabda,

اَلْبَيِّعَانِ بِالْخِيَارِمَالَمْ يَتَفَرَّقَا، فَإِنْ صَدَقَ الْبَيِّعَانِ وَبَيَّنَا، بُوْرِكَ لَهُمَافِى بَيْعِهِمَا، وَاِنْ كَتَمَا وَكَذَبَا، فَعَسَىاَنْ يَرْبَحَارَبْحَا، وَيَمْحَقَا بَرَكَةَ بَيْعِحِمَا.

“Penjual dan pembeli mempunyai hak untuk menentukan pilihan selama belum saling berpisah. Jika keduanya berlaku jujur dan menjelaskan yang sebenarnya, transaksi mereka diberkahi. Namun, jika keduanya saling menyembunyikan kebenaran dan berdusta, mungkin keduanya mendapatkan keuntungan tapi melenyapkan keberkahan transaksinya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

3. Memperoleh Keselamatan

Rasulullah saw. bersabda,

عَلَيْكُمْ بِالصِّدْقِ فَاِنَّهُ مَعَ الْبِرِّ وَهُمَا فىِ الْجَنَّةِ

“Kamu harus berkata benar, karena sesungguhnya ia bersama kebajikan dan keduanya adalah dalam surga.” (HR. Ahmad, Bukhari, dan Ibnu Majah)

4. Tercatat Sebagai Ahli Kebenaran

Rasulullah SAW bersabda,

عَلَيْكُمْ بِالصِّدْقِ فَاِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِى اِلَى الْبِرِّ وَاِنَّ الْبِرَّ يَهْدِى اِلىَ الْجَنَّةِ وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَصْدُقُ وَيَتَحَرَّى الصِّدْقَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللهِ صِدِّيْقًا

“Hendaklah kamu semua bersikap jujur, karena kejujuran membawa pada kebaikan dan kebaikan membawa ke surga. Seseorang yang selalu jujur dan mencari kejujuran akan ditulis oleh Allah sebagai orang yang jujur.” (HR. Bukhari)

5.Terhindar dari Kemunafikan

Rasulullah SAW bersabda,

ءَايَةُ الْمُنَافِقِ ثَلاَثٌ: اِذَا حَدَّثَ كَذَبَ وَاِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ وَاِذَائْتُمِنَ خَانَ

“Tanda orang munafik ada tiga: apabila berkata dusta, bila berjanji mangkir, dan bila dipercaya khianat.” (HR. Bukhari dan Muslim)


Penutup

Sifat jujur merupakan faktor terbesar tegaknya agama dan dunia. Orang yang beriman harus memiliki karakter jujur, yaitu yang meliputi jujur hati, perkataan, perbuatan, janji dan jujur dalam kenyataan.

5. Wara (hati-hati, apik)



A. Definisi Wara

Prinsip dasar wara’ adalah sifat yang berisi  kehati-hatian dan tidak adanya keberanian untuk mendekati sesuatu yang bersifat haram, termasuk juga hal-hal yang sifatnya ragu-ragu atau subhat.

Dan dalam hal ini, Nabi Saw bersabda:

“Sesungguhnya yang halal dan yang haram itu jelas. Dan di antara keduanya banyak hal-hal syubhat yang kebanyakan orang tidak mengetahuinya. Barangsiapa yang menjaga diri dari hal-hal yang syubhat maka ia telah membersihkan agama dan kehormatannya.

Orang-orang yang memiliki kedudukan yang tinggi selalu bersikap preventif dengan berhati-hati dari sebagian yang halal yang bisa membawa kepada sesuatu yang makruh atau haram.

Diriwayatkan dari Rasulullah, beliau bersabda: “Seorang hamba tidak bisa mencapai derajat taqwa sehingga ia meninggalkan yang tidak dilarang karena khawatir dari sesuatu yang dilarang.”

Di antara renungan Ibnu al-Qayyim ra dalam hadits-hadits Rasulullah, dia menyatakan bahwa sesungguhnya: ‘Rasulullah  mengumpulkan semua sifat wara’ dalam satu kata, maka beliau bersabda:

“Termasuk tanda baik keislaman seseorang, ia meninggalkan hal-hal yang tidak penting baginya.”        

Sifat wara’ menjadikan diri selalu terjaga

Dan di antara hasil yang nampak bagi sikap wara’ bahwa ia memelihara pelakunya dari terjerumus (dalam hal yang dilarang), karena itulah engkau menemukan: Barangsiapa yang melakukan yang dilarang, ia menjadi gelap hati karena tidak ada cahaya wara’, maka ia terjerumus dalam hal yang haram, kendati ia tidak memilih . terjerumus padanya.

Maka dengan demikian  wara’ merupakan :

kedudukan ibadah yang tertinggi:”Jadilah orang yang wara’ niscaya engkau menjadi manusia paling beribadah.”  Dan
agama yang paling utama adalah sikap wara':”Sebaik-baik agamamu adalah sikap wara’“


B. Wara' harus dengan Ilmu

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata :
“Dari kesempurnaan wara’ adalah hendaknya seseorang mengetahui yang terbaik dari dua kebaikan dan yang terburuk dari dua keburukan, mengetahui bahwa landasan syariat adalah mewujudkan kemaslahatan dan menyempurnakan nya, serta mengeliminasi kerusakan dan meminimalkan nya.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata :
“Perkara-perkara yang wajib dan sunnah tidak boleh diterapkan sikap zuhud dan wara’ terhadapnya. Adapun terhadap perkara yang haram dan makruh layak disikapi- dengan zuhud dan wara’ terhadapnya.”

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata :
“Wara’ dari yang tidak mengandung mudharat, atau mudharatnya sangat kecil, sementara manfaatnya sangat besar atau dapat menghindarkan mudharat yang lebih besar, maka tindakan wara; seperti ini adalah kebodohan dan kezaliman. Karena ada tiga hal yang kita tidak boleh bersikap wara’ terhadapnya.
1. Manfaatnya yang sebanding.
2. Manfaatnya lebih kuat dan
3. Seluruhnya adalah manfaat.
Seperti perkara yang benar- benar mubah atau perkara yang sunnah atau yang wajib. Maka wara’ dari (3 perkara ini) adalah kesesatan (dan kebodohan).”

Sebagian Ulama membagi wara’ kepada tiga tingkatan :
1. Wajib, yaitu meninggalkan yang haram. Dan ini umum untuk seluruh manusia.
2. Menahan diri dari yang syubhat, ini dilakukan oleh sebagian kecil manusia.
3. Meninggalkan kebanyakan perkara yang mubah, dengan mengambil yang benar-benar penting saja, ini dilakukan oleh para Nabi, orang-orang yang benar (shiddiqin), para syuhada’ dan orang-orang shalih.

Wara’ dari perkara yang mubah maksud nya wara’ dari perkara mubah yang dapat mengantarkan nya kepada yang haram. Bukan didalam hal yang jelas-jelas kemubahan nya. Bahkan perkara mubah bisa menjadi ibadah apabila diniatkan untuk mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa ta’ala. Misalnya, seseorang makan dengan niat untuk mendapatkan tenaga agar bisa beribadah kepada Allah, atau tidur agar bisa melaksanakan shalat malam, menikah dengan niat memberikan nafkah kepada isteri dan mengikuti sunnah Rasulullah dan semisalnya.

Jadi Orang yang wara’ adalah orang yang   mendapati perkara samar (yang kurang jelas), segera meninggalkannya, sekalipun dari sisi hukum keharamannya masih diperselisihkan. Sedangkan jika samar dalam wajibnya suatu perkara, segera dia mengerjakannya karena khawatir berdosa jika meninggalkannya.  (Syaikh Muhammad bin Soleh al-Utsaimin -semoga Allah merahmatinya- )


C. Beberapa contoh  kisah wara yang dilakukan oleh Rasulullah,  sahabat dan ulama terdahulu:

1. Wara'nya Rasulullah Shallallahu'alaihi wa salam

Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam bersikap wara’ terhadap buah kurma yang didapatkan dirumahnya. Hasan bin Ali mengambil kurma zakat dan memasukkan kedalam mulutnya, maka Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam bersabda : “Kuhk, Kuhk..” yakni agar memuntahkan nya, kemudian beliau bersabda : “Tidakkah kamum menyadari bahwa kita tidak makan dari harta zakat.” [Shahih Bukhari dan Muslim]

2. Wara’nya Abu Bakar Radhiyallahu’anahu

Beliau memiliki seorang budak yang membayar u
peti kepadanya. Abu Bakar makan dari upeti tersebut. Suatu hari budak itu membawa makanan, maka Abu Bakr menahan nya. Setelah itu budak tersebut berkata : “Tahukah apa yang telah kamu makan?” Abu Bakar bertanya : “Apa itu?” Dia berkata : “Dulu aku pernah menjadi dukun untuk seseorang dimasa jahiliyah. Sesungguhnya aku tidak pandai berdukun, tetapi aku mau menipunya. Dia menemuiku dan memberikan sesuatu kepadaku dan itulah yang engkau makan.” Maka Abu Bakar memasukkan tangan nya kedalam mulutnya dan memuntahkan seluruh yang ada dalam perutnya.” [Shahih bukhari]

3. Wara'nya Muwarriq al-Ijliy

Dari Quraisy bin Hayyan al-Ijliy dari Maimunah binti Maz’ur, katanya: “Al-Muwarriq al-Ijliy mendatangi putranya yang bernama Soghdi. Anak itu memberinya sebutir telur yang direbus di wadah yang terbuat dari perak. Al-Muwarriq bertanya:
“Dari mana kamu dapatkan wadah perak ini, wahai Soghdi?”
“Itu adalah barang yang digadaikan kepadaku” Jawabnya.
“Ambil kembali telurmu!” Dia menolak untuk memakannya dan tidak suka mengambil manfaat dari barang gadaian.

D. Buah dan Manfaat Wara’:

Beberapa buah dan manfaat dari Wara':
1. Terhindar dari adzab Allah, pikiran menjadi tenang dan hati menjadi tentram.
2. Menahan diri dari hal yang dilarang.
3. Tidak menggunakan waktu untuk hal-hal yang tidak bermanfaat.
4. Mendatangkan cinta Allah karena Allah mencintai orang-orang yang wara’.
5. Membuat doa dikabulkan, karena manusia jika mensucikan makanan, minuman dan bersikap wara’, lalu mengangkat kedua tangan nya untuk berdoa, maka doa nya akan segera dikabulkan.
6. Mendapatkan keridhaan Allah dan bertambahnya kebaikan.
7. Terdapat perbedaan tingkatan manusia didalam surga sesuai dengan perbedaan tingkatan wara’ mereka.


Kata penutup

Salah satu karakter building yang harus dimiliki oleh seorang mukmin adalah wara' yaitu sikap kehati-hatian dengan meninggalkan hal yang bisa membawa pada sesuatu yang makhruh atau haram. Semoga kita bisa mengamalkannya dalam kehidupan sehari2, aamiin..3x

4. Resiprokal (Timbal Balik) Amal"

Allah swt. memberikan nasihat bahwa, setiap hal yang kita perbuat akan berbalaskan ganjaran setimpal. Amal baik ganjarannya baik. Amal buruk ganjarannya buruk.

"Maka siapa saja yang mengerjakan kebaikan sebesar dzarrah (molekul terkecil) pun, ia akan melihat ganjarannya (surga); dan siapa saja yang mengerjakan amal kejelekan sebesar dzarrah pun, ia akan melihat ganjarannya (neraka).” (Q.S. al-Zalzalah [99]: 7-8).

Dalam menjalani kehidupan di dunia ini manusia terbagi menjadi dua kelompok besar, yaitu:
1. Kelompok orang yang lebih  mengutamakan kehidupan dunia
2. Kelompok orang yang lebih mengutamakan akhirat.


1. Balasan bagi kelompok pecinta dunia

Terhadap para pencinta dunia atau mereka yang termasuk kedalam  kelompok pertama Allah mengingatkan dalam surat Al Israak ayat 18:

"Barangsiapa menghendaki kehidupan sekarang (duniawi), maka Kami segerakan baginya di dunia itu apa yang kami kehendaki bagi orang yang kami kehendaki dan Kami tentukan baginya neraka jahannam; ia akan memasukinya dalam keadaan tercela dan terusir. " (Al Israak 18)

Allah akan memberikan apa saja yang mereka inginkan didunia ini sepuas puasnya. Maka janganlah kita  merasa  takjub dan heran melihat orang yang kafir dan tidak percaya dengan kehidupan akhirat memiliki kekayaan berlimpah penuh kemewahan dan segala hal yang disukai oleh nafsu dan syahwat.

Mereka  merasakan kesenangan hidup didunia  hanya sekejap saja, kemudian begitu datang kematian mulailah mereka mengalami kesulitan demi kesulitan yang akan mereka jalani kekal selamanya.

Di alam barzakh mereka baru menyadari kebodohan mereka dan mereka berseru agar dikembalikan hidup lagi ke dunia agar mereka bisa memperbaiki semua kebodohan mereka, sebagaimana disebutkan dalam surat:

"(Demikianlah keadaan orang-orang kafir itu), hingga apabila datang kematian kepada seseorang dari mereka, dia berkata: “Ya Tuhanku kembalikanlah aku (ke dunia) (al Mukminuun 99)

"agar aku berbuat amal yang saleh terhadap yang telah aku tinggalkan. Sekali-kali tidak. Sesungguhnya itu adalah perkataan yang diucapkannya saja. Dan di hadapan mereka ada dinding sampal hari mereka :dibangkitkan". (Al Mukminuun 100)

Balasan bagi pecinta akhirat

Para pencinta akhirat atau mereka yang termasuk kedalam kelompok kedua adalah mereka yang disebutkan  Allah keberadaannya dalam surat Al  Israak ayat 19

"Dan barangsiapa yang menghendaki kehidupan akhirat dan berusaha ke arah itu dengan sungguh-sungguh sedang ia adalah mukmin, maka mereka itu adalah orang-orang yang usahanya dibalasi dengan baik."(Al israak 19)

Kelompok ini menjalani kehidupan dunia dengan hati hati dan waspada , mereka menyadari bahwa kehidupan dunia ini hanya kehidupan sementara. Kehidupan yang sebenarnya adalah kehidupan  dikampung akhirat nanti. Semua usaha dan kegiatannya ditujukan untuk meraih ampunan Allah dan kehidupan yang kekal dan abadi disisiNya. Mereka lebih mengutamakan kehidupan akhirat daripada kehidupan dunia. Mereka tidak silau dengan kemewahan dan keindahan dunia , mereka  menyadari bahwa kehidupan dunia ini  penuh dengan jebakan dan tipu daya yang dapat menyesatkan mereka.

Mereka tidak segan segan mengorbankan kepentingan dunianya demi kepentingan hidup diakhirat. Mereka tidak pernah lelah dan letih dalam beribadah pada Allah, mereka mencintai apa yang dicintai Allah, dan membenci apa yang dibenci Allah. Mereka telah menggadaikan dirinya untuk mengabdi pada Allah. Mereka siap mengorbankan semua yang dimilikinya demi mendapatkan ridha Allah, mereka itulah yang dimaksud Allah dengan firmanNya dalam surat Al Baqarah ayat 207

"Dan di antara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya karena mencari keridhaan Allah; dan Allah Maha Penyantun kepada hamba-hamba-Nya." (Al Baqarah 207)

Seluruh usaha dan kegiatanya ditujukan untuk mendapatkan ridha Allah, mereka telah berikrar ketika mendirikan shalat dengan janji setia yang selalu dibaca pada pembukaan shalatnya (doa iftitah).

Orang yang cerdas,  mau berfikir dan menggunakan akalnya pasti lebih memilih kehidupan akhirat daripada kehidupan dunia. Orang orang yang bodoh, dungu namun merasa paling cerdas dan pintar dan tidak menyadari kebodohannya , pasti memilih kehidupan dunia. Mereka tidak peduli dengan kehidupan akhirat. Mereka memandang hina dan rendah pada orang yang berhati hati dalam hidupnya dan memilih kehidupan akhirat sebagai tujuan hidup.

Mereka baru menyadari kekeliruannya kelak setelah datang kematian dan nyawa mereka telah berpisah dari jasad. Mereka menjalani kehidupan akhirat dengan penuh penyesalan dan penderitaan yang tidak pernah berakhir.


Kata penutup

Salah satu karakter building yang harus dimiliki seorang mukmin adalah meyakini bahwa setiap perbuatan sekecil apapun yang kita lakukan itu akan ada balasannya, baik hal itu di dunia ataupun ditunda di akhirat kelak. Jadi manfaatkan setiap detik waktu yang kita lalui dengan hal yang bermanfaat, yaitu hal yang ada nilai ibadahnya.

3. Profesionalitas Amal



Dalam melaksakan aktivitas (baca: amal), kita dituntut untuk profesional. Profesionalitas yang tinggi akan menjadi salah satu penunjang untuk sampai di garis finish kehidupan.

Rasulullah mewanti-wanti, “Jika suatu urusan diserahkan bukan pada ahlinya, tunggulah kehancurannya.”.

Ada tiga syarat utama profesionalitas amal, yaitu:
1. Berdasarkan/berlandaskan ilmu
2. Ikhlas dalam melakukannya
3. Memiliki motivasi yang kuat untuk mengerjakannya dengan segenap kemampuan maksimal yang kita miliki.

Terkait dengan ilmu, maka dalam beribadah kepada Allah, ilmunya harus berdasarkan al-qur'an dan hadist.

Dari ‘Aisyah ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam “Barangsiapa mengamalkan amalan yang tidak ada dasarnya dalam urusan (agama) kami, maka dia tertolak.” (HSR Muslim 12/16).

Sedangkan dalam urusan muamalah atau hal duniawi yang tidak diatur secara rinci dalam al-quran dan hadist, maka ilmunya harus berdasarkan dari para ahlinya/penelitian/pengalaman kita.

Sebagaimana perkataan Imam Syafii:
“Setiap manusia adalah mati, kecuali mereka yang berilmu. Setiap yang berilmu ada dalam keadaan tertidur, kecuali mereka yang beramal. Setiap yang beramal adalah tertipu, kecuali yang ikhlas. Dan mereka yang ikhlas, akan senantiasa berada dalam kekhawatiran.”

Sejalan dengan perkataan Imam Syafii ini, sangatlah masuk akal kalau kita mengatakan kunci pertama keberhasilan adalah pengetahuan dan keterampilan dalam mengerjakan sesuatu. Tak heran bila Hasan Al Banna menyebut al-fahm (pemahaman yang baik) sebagai hal nomor satu yang harus dimiliki seorang Muslim. Knowledge is power, demikian pepatah yang sering kita dengar. Kita haruslah senantiasa belajar dan memperkaya diri.

Kesimpulannya adalah salah satu karakter yang harus dimiliki oleh seorang mukmin adalah beramal secara optimal dengan ikhlas yang berdasarkan dengan ilmu serta istiqomah menjalankannya. Semoga kita termasuk dalam golongan ini. Aamiin..3x

2. Tidak Menunda Waktu


Kita dibimbing agar tidak menunda-nunda waktu. Hari ini, ya... hari ini. Esok, ya... esok.

Kita harus memiliki keyakinan tinggi bahwa, hidup itu bukan kemarin bukan juga esok hari. Hidup itu hari ini, detik ini. Kalau hari ini, detik ini, tidak dimanfaatkan, berarti ia tidak “hidup”.

Pepatah mengatakan, “waktu itu bagaikan pedang”. Jika waktu tidak dikuasai, maka ia akan “menyabit leher” kita, kita akan terjun ke lembah kerugian.

Rasulullah saw. bersabda, “Jadilah engkau di dunia layaknya orang asing atau orang yang menempuh perjalanan!”. Kemudian dalam hadits tersebut Ibnu Umar menambahkan kalimat bijak:
إِذَا أَمْسَيْتَ فَلاَ تَنْتَظِرِ الصَّبَاحَ، وَإِذَا أَصْبَحْتَ فَلاَ تَنْتَظِرِ الْمَسَاءَ، وَخُذْ مِنْ صِحَّتِكَ لِمَرَضِكَ، وَمِنْ حَيَاتِكَ لِمَوْتِكَ
“Jika kamu sedang berada di pagi hari, janganlah kamu menunggu sore hari. Jika kamu sedag berada di sore hari, janganlah kamu menunggu pagi hari. Ambillah (beramallah) dari sehatmu untuk (bekal) sakitmu dan dari hidupmu untuk matimu”. (H.R. Bukhari).

Ada 4 penyebab utama yang menyebabkan kita terbiasa menunda waktu, yaitu:

1. Bisikan syetan dan hawa nafsu yang mendorong kita untuk bermalas2an dan menunda2

2. Banyaknya pekerjaan yang harus kita selesaikan sehingga membuat kita bingung untuk memulainya

3. Banyaknya gangguan yang bisa merusak fokus kita

4. Kurangnya kejelasan dan kekuatan tujuan.

Solusi dari penyebab2 diatas adalah:

1. Berdoa kepada Allah agar dilindungi dari godaan syetan serta memohon agar dijauhkan dari sifat malas.

2. Kita harus memiliki prioritas sehingga ada pekerjaan jelas yang harus kita lakukan lebih dulu. Saat tidak ada prioritas, maka
semua akan mengambang, semua akan tertunda, sebab pikiran kita bingung.

3. Kita harus mengatur dan mengkondisikan diri, agar gangguan yang ada, seperti email, telepon, fb, bbm, dll bisa berkurang sehingga kita bisa fokus pada pekerjaan kita.

4. Kita harus memiliki kejelasan pekerjaan dan kekuatan tujuan. Dengan kejelasan akan membuat kita fokus dan mudah membuat skala prioritas. Sedangkan dengan kekuatan tujuan akan membuat kita segera melakukan apa yang seharusnya dilakukan untuk segera menyelesaikannya.

1. Meninggalkan Hal yang Sia-sia


عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ _رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ:«مِنْ حُسْنِ إِسْلاَمِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لاَ يَعْنِيْهِ». حَدِيْثٌ حَسَنٌ, رَوَاهُ التِّرْمِذِي وَغَيْرُهُ هَكَذَا.

Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata, Rasululla shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Di antara tanda kebaikan keIslaman seseorang: jika dia meninggalkan hal-hal yang tidak bermanfaat baginya.” (Hadits hasan, diriwayatkan oleh at-Tirmidzi no. 2318 dan yang lainnya)

Sesuatu yang tidak bermanfaat bagi seorang muslim, bisa berbentuk perkataan bisa juga berbentuk perbuatan. Jadi setiap perkataan dan perbuatan yang tidak ada manfaatnya baik itu untuk kepentingan ukhrawi seorang muslim ataupun untuk kepentingan duniawinya, seharusnya dia tinggalkan agar keislamannya menjadi baik.

Bagaimana kita bisa mengetahui apakah sesuatu itu termasuk bermanfaat bagi kita atau tidak? Apakah standar dan patokan yang kita gunakan untuk menentukan suatu perbuatan itu termasuk bermanfaat bagi seorang muslim atau tidak?

Ketahuilah bahwa standar yang harus kita gunakan dalam masalah ini adalah syariat dan bukan hawa nafsu. Mengapa? Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadikan “meninggalkan suatu hal yang tidak bermanfaat” sebagai tanda dari kebaikan keislaman seseorang. Ini menunjukkan bahwa patokan yang harus kita gunakan dalam menilai bermanfaat tidaknya suatu perbuatan adalah syariat Islam. Hal ini perlu ditekankan karena banyak orang yang salah paham dalam memahami hadits ini, sehingga dia meninggalkan hal-hal yang diwajibkan syariat atau disunahkan, dengan alasan bahwa hal-hal itu tidak bermanfaat baginya.

Contoh hal-hal yang tidak bermanfaat bagi seorang muslim, antara lain:

1. Maksiat atau hal-hal yang diharamkan oleh Allah ta’ala.
Dan ini hukumnya wajib untuk ditinggalkan oleh setiap manusia. Karena dia bukan hanya tidak bermanfaat, tapi juga membahayakan diri sendiri, baik di dunia maupun di akhirat.

Di antara bahaya yang ditimbulkan maksiat di dunia adalah: mengerasnya hati dan menghitam, hingga cahaya yang ada di dalamnya padam. Akibatnya, dia pun menjadi buta jadi tidak bisa membedakan mana yang haq dan mana yang batil.

Akibat buruk ini telah dijelaskan oleh Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam,

« إِنَّ الْعَبْدَ إِذَا أَخْطَأَ خَطِيْئَةً نُكْتَتُ فِي قَلْبِهِ نُكْتَةً سَوْدَاءَ, فَإِنْ هُوَ نَزَعَ وَاسْتَغْفَرَ صَقلَ قَلْبُهُ, وَإِنْ زَادَ زِيْدَ فِيْهَا حَتَّى تَعْلُو قَلْبُهُ وَهُوَ الرَّانُ الَّذِي ذَكَرَ اللهُ كَلاَّ بَلْ رَانَ عَلَى قُلُوْبِهِمْ مَا كَانُوْا يَكْسِبُوْنَ.»

“Jika seorang hamba berbuat sebuah dosa, maka akan ditorehkan sebuah noktah hitam di dalam hatinya. Tapi jika ia meninggalkannya dan beristigfar niscaya hatinya akan dibersihkan dari noktah hitam itu. Sebaliknya jika ia terus berbuat dosa, noktah-noktah hitam akan terus bertambah hingga menutup hatinya. Itulah dinding penutup yang Allah sebutkan dalam ayat (Sekali-kali tidak demikian, sebenarnya apa yang selalu mereka kerjakan itu menutup hati mereka)” (QS.al-Muthaffifin: 14) (HR Tirmidzi dan Ibn Majah serta dihasankan oleh Syaikh Al Albani). Adapun di akhirat, maka orang yang gemar berbuat maksiat, diancam oleh Allah untuk dimasukkan ke dalam neraka, na’udzubillah min dzalik.

2.Hal-hal yang dimakruhkan dalam agama kita, juga berlebih-lebihan dalam mengerjakan hal-hal yang diperbolehkan agama, yang sama sekali tidak mengandung manfaat, malah justru terkadang menghalangi seseorang dari berbuat amal kebajikan.

Di antara yang harus mendapyat porsi terbesar dari perhatian kita adalah masalah lisan. Imam an-Nawawi menasihatkan, “Ketahuilah, seyogianya setiap muslim berusaha untuk selalu menjaga lisannya dari segala macam bentuk ucapan, kecuali ucapan yang mengandung maslahat. Jikalau dalam suatu ucapan, maslahat untuk mengucapkannya dan maslahat untuk meninggalkannya adalah sebanding, maka yang disunnahkan adalah meninggalkan ucapan tersebut. Sebab perkataan yang diperbolehkan terkadang membawa kepada perkataan yang diharamkan atau yang dimakruhkan. Dan hal itu sering sekali terjadi. Padahal keselamatan (dari hal-hal yang diharamkan atau dimakruhkan) adalah sebuah (mutiara) yang tidak ternilai harganya.” (Riyadh ash-Shalihin, hal: 483)

Pengalaman membuktikan bahwa perkataan yang baik, indah dan yang telah dipertimbangkan secara bijak, atau mencukupkan diri dengan diam, akan mendatangkan kewibawaan dan kedudukan dalam kepribadian seorang muslim. Sebaliknya, banyak bicara dan gemar ikut campur perkara yang tidak bermanfaat, akan menodai kepribadian seorang muslim, mengurangi kewibawaan dan menjatuhkan kedudukannya di mata orang lain (Qawa’id wa Fawaid, hal: 123)

Imam Ibnu Hibban berpetuah, “Orang yang berakal seharusnya lebih banyak mempergunakan kedua telinganya daripada mulutnya. Dia perlu menyadari bahwa dia diberi telinga dua buah, sedangkan diberi mulut hanya satu; adalah supaya dia lebih banyak mendengar daripada berbicara. Sering kali seseorang menyesal di kemudian hari akibat perkataan yang ia ucapkan, sementara diamnya dia tidak akan pernah membawa penyesalan. (Perlu diketahui pula) bahwa menarik diri dari perkataan yang belum diucapkan adalah lebih mudah daripada mencabut perkataan yang telah terlanjur diucapkan. Karena biasanya jika seseorang tengah berbicara, maka kata-katanyalah yang akan menguasai dirinya, sebaliknya jika tidak berbicara, maka ia mampu untuk mengontrol kata-katanya (Raudhah al-‘Uqala wa Nuzhah al-Fudhala, hal: 45, dinukil dari Rifqan Ahl as-Sunnah bi Ahl as-Sunnah Menyikapi Fenomena Tahdzir dan Hajr, oleh Syaikh Abdul Muhsin al-‘Abbad hafidzhahullah, hal 31)

Banyak orang meremehkan perkataan-perkataan yang terlepas dari lisannya, serta tidak mempedulikan dampak baik buruknya. Padahal jauh-jauh hari Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memperingatkan,

« إِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مَا يَتَبَيَّنُ مَا فِيْهَا , يَهْوِي بِهَا فِي النَّارِ أَبْعَدُ مَا بَيْنَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ »

“Seringkali seorang hamba mengucapkan suatu perkataan yang tidak ia pikirkan dampaknya, padahal ternyata perkataan itu akan menjerumuskannya ke neraka yang dalamnya lebih jauh dari jarak timur dengan barat” ( HR. Bukhari, no: 6477, dan Muslim, no: 7407)

Penutup

Salah satu karakter muslim ebagai ganti perbuatan yang sia2 adalah melakukan perbuatan yang bermanfaat. Dalam hal ini, ada dua perbuatan yang bermanfaat, yaitu:
1) Habluminallah, yang berhubungan dengan Allah. Dimana segala perbuatan yang diperintahkan oleh Allah yang bermanfaat buat diri kita sendiri seperti ibadah wajib, ibadah sunat, berdzikir salah satunya memperbanyak istighfar,
2) habluminannas, yang berhubungan dengan manusia. Segala sesuatu yang memberikan manfaat buat orang lain dan diri kita yang tidak melanggar syariat islam.

Untuk mengetahui apa2 saja hal yang bermanfaat di atas, maka kita perlu meningkatkan ilmu yang berasal dari sumber ilmu, yaitu al-quran dan hadist.


"Moslem Character Building: 7 Ajaran Membangun Karakter Muslim"

Terdapat tujuh hal yang berkenaan dengan ajaran agama tentang character building (pembangunan karakter), yaitu:

1. Meninggalkan yang Sia-Sia
2. Tidak Menunda Waktu
3. Profesionalitas Amal
4. Resiprokal (timbal balik) Amal
5. Wara` (hati-hati, apik)
6. Jujur
7. Prasangka Baik (husnuzan)


Inti dari ke tujuh bahasan di atas adalah:
1. Ada dua hal yang termasuk perbuatan yang sia-sia, yaitu:
(1) Perbuatan yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya
(2) Perbuatan makhruh dan mubah yang dilakukan secara berlebihan

2. Ada 4 penyebab utama kita terbiasa menunda waktu:
(1) bisikan syetan dan hawa nafsu;
(2) kebingungan dalam menghadapi banyak kerjaan;
(3) banyak gangguan hingga tidak fokus; (4) kurangnya kejelasan & kekuatan tujuan.

Dengan solusinya, yaitu:
(1) Berdoa kpd Allah;
(2) memiliki prioritas;
(3) mengatur & mengkondisikan diri;
(4) memiliki kejelasan & kekuatan tujuan.

3. Ada tiga syarat utama profesionalitas amal, yaitu:
(1) Berlandaskan ilmu
(2) Ikhlas dalam melakukannya
(3) Memiliki motivasi yang kuat dalam mengerjakannya dengan kemampuan maksimal.

4. Dalam menjalani roda kehidupan di dunia ini, kita harus meyakini adanya timbal balik amal, yaitu meyakini bahwa setiap apa yang kita lakukan walaupun itu sebesar zarrah akan ada balasannya baik itu balasannya di dunia atau diakhirkan di akhirat kelak.

5. Wara' adalah salah satu karakter yang harus dimiliki seorang mukmin, yaitu memiliki sikap kehati-hatian dengan cara meninggalkan hal yang bisa membawa pada sesuatu yang makhruh atau haram.

6. Sifat jujur merupakan faktor terbesar tegaknya agama dan dunia. Orang yang beriman harus memiliki karakter jujur, yaitu yang meliputi jujur hati, perkataan, perbuatan, janji dan jujur dalam kenyataan.

7. "Prasangka Baik (husnuzan)" adalah perilaku yang memiliki prasangka baik terhadap apa yang ada di hadapannya. Husnuzhan ini terbagi atas tiga, yaitu:

a. Husnuzhan kepada Allah artinya adalah berprasangka baik terhadap semua keputusan Allah atau takdir Allah yang telah ditetapkan kepada manusia.

b. Husnuzan kepada orang lain berarti berprasangka baik terhadap semua yang dilakukan oleh orang lain. Berprasangka baik artinya menanggap bahwa apa yang dilakukan orang lain, baik yang terlihat jahat adalah baik, apalagi yang baik tentu baik, kecuali perbuatannya jelas melanggar syariat.

c. Husnuzan terhadap diri sendiri berarti bahwa segala yang melekat pada diri kita, baik yang kita sukai maupun yang tidak kita sukai merupakan pemberian yang terbaik dari Allah kepada kita.