Tuesday 29 September 2015

Penyakit Hati yang Paling Mematikan



Penyakit hati yang paling berbahaya adalah timbulnya rasa sombong, merasa diri lebih hebat dari orang lain sehingga tidak suka menerima kebenaran yang datangnya dari orang lain.

Penyakit ini biasanya timbul saat kita sudah merasa mapan, saat kita sudah tinggal landas dari  kesulitan dan penderitaan, saat kita sudah keluar dari kehidupan yang menyengsarakan.

Berhati-hatilah bila kita awalnya susah berbicara di depan umum, lalu kita memohon dan terus berlatih hingga akhirnya  jadi seorang orator ulung.

Berhati-hatilah bila kita awalnya bodoh,  lalu kita berdoa dan terus belajar hingga akhirnya  jadi seorang ilmuwan;

Berhati-hatilah bila kita awalnya karyawan biasa yang tak diperhitungkan, lalu kita berharap dan  terus rajin bekerja hingga akhirnya   jadi seorang pejabat yang dihormati;

Berhati-hatilah bila kita awalnya miskin penuh penderitaan, lalu kita bercita-cita dan berusaha keras hingga akhirnya jadi  seorang hartawan yang sangat kaya raya.

Pada saat semuanya yang kita mohonkan, doakan, harapkan dan cita-citakan  tercapai, maka saat itu sangat mudah akan terjangkit penyakit yang sangat mematikan yaitu penyakit sombong.

Penyakit yang merasa bahwa semua yang didapatkannya semata-mata karena latihannya, kecerdasannya, usahanya dan kekuatannya hingga melupakan peran Sang Pemilik Takdir.

Saat penyakit itu menyatu dengan kita, maka sejak saat itu kita jadi lebih hina daripada kita belum menjadi siapa-siapa. Sebagaimana kehinaan yang dimiliki Iblis, Fir'aun, Qorun dan Hammam.

Untuk menghindari penyakit mematikan ini, maka kita sebaiknya memperbanyak istighfar dalam setiap situasi dan kondisi. Karena pada dasarnya kita adalah makhluk tak berdaya dan penuh dosa jika tanpa pertolongan dan ampunan-Nya.

(Gantira, 30 September 2015, Bogor)

Perbandingan yang Setara



Dalam membandingkan sesuatu itu perlu adanya kesetaraan terhadap apa yang dibandingkan.

Tidaklah tepat kita membandingkan kebahagiaan duniawi antara orang non islam yang sangat kaya dengan orang mukmin yang miskin, yang tepat itu membandingkan kebahagiaan dunia antara orang non islam yang sangat kaya dengan orang mukmin yang sangat kaya juga. Karena pada dasarnya banyak juga orang mukmin yang sama-sama diberi kekayaan berlimpah.

Begitu juga, baru seimbang jika kita membandingkan menderita mana dunianya antara orang non islam yang sangat miskin dengan orang mukmin yang sangat miskin. Karena pada kenyataannya banyak juga orang non islam  yang sangat miskin.

Tidaklah tepat kita membandingkan hasil karya sebuah penemuan teknologi antara orang non islam yang IQ nya tinggi dengan orang mukmin yang IQ nya biasa-biasa saja. Yang lebih tepat itu membandingkan hasil karya dari orang non islam dan orang mukmin yang IQ nya sama-sama tinggi. Karena pada kenyataannya banyak juga orang mukmin yang dianugrahi IQ yang sangat tinggi.

Begitu juga sebaliknya, baru seimbang jika kita membandingkan kinerja orang non islam dan orang mukmin yang sama-sama IQ nya biasa-biasa saja. Karena pada dasarnya banyak juga orang non Islam yang IQ nya biasa-biasa saja.

Tidaklah tepat kita membandingkan kesejahteraan yang dipimpin orang non  islam yang adil dan bijaksana dengan orang islam yang dholim dan kasar. Yang lebih tepat itu membandingkan kesejahteraan yang dipimpin oleh orang non muslim dan orang mukmin yang sama-sama adil dan bijaksana. Karena pada kenyataannya banyak juga orang mukmin yang adil dan bijaksana.

Begitu juga sebaliknya, yang seimbang itu membandingkan kesengsaraan yang dipimpin oleh orang non islam dan orang islam yang sama- sama dholim. Karena pada dasarnya banyak juga orang non islam yang dholim.

Jika kita telah membandingkan segala sesuatu dengan setara antara orang non islam dan orang islam yang taat. Maka kita akan sadar bahwa ajaran Islam akan membawa keunggulan yang jauh lebih baik daripada  yang mengingkarinya.

(Gantira, 29 September 2015, Bogor)