Saturday 21 May 2016

"Makna Ikhlas yang Benar"

Makna Ikhlas bukanlah sekedar berbuat tanpa tujuan, karena orang yang sedang tidur pun bisa melakukan ini tanpa dia sadari.

Makna Ikhlas bukan seperti buang air besar lalu melupakan apa yang dibuangnya, karena binatang pun bisa melakukan semua ini.

Makna Ikhlas bukan seperti akar yang gigih menembus padas keras mencari air tanpa pamrih demi pohon bisa hidup dan tumbuh, berdaun rindang, berbunga indah, berbuah lebat, dan menampakkan pesonanya ,mendapat pujian pula. Tapi akar tetap sembunyi di dalam  tanah tidak ikut ikutan menampakkan diri. Karena seluruh sel dan jaringan tubuh pada semua makhluk hidup pun melakukan hal yang sama, namun mereka juga sama  tidak mengharapkan pujian.

Kalau makna ikhlas di definisikan seperti makna2 di atas, maka makna itu terlalu sederhana sehingga tidak ada bedanya manusia dengan makhluk lainnya.

Makna yang benar dari ikhlas adalah sebagaimana yang dikatakan oleh seorang ulama
Abul Qosim Al Qusyairi, “Ikhlas adalah menjadikan niat hanya untuk Allah dalam melakukan amalan ketaatan. Jadi, amalan ketaatan tersebut dilakukan dalam rangka mendekatkan diri pada Allah. Sehingga yang dilakukan bukanlah ingin mendapatkan perlakuan baik dan pujian dari makhluk."

Makna yang benar dari ikhlas adalah sebagaimana yang dikatakan oleh Sahl bin Abdullah at-Tasturi rahimahullah, “Orang-orang yang cerdas memandang tentang hakikat ikhlas ternyata mereka tidak menemukan kesimpulan kecuali hendaklah gerakan dan diam yang dilakukan, yang tersembunyi maupun yang tampak, semuanya dipersembahkan untuk Allah ta’ala semata. Tidak dicampuri apa pun; apakah itu kepentingan pribadi, hawa nafsu, maupun perkara dunia.” (lihat Adab al-’Alim wa al-Muta’allim, hal. 7-8)

Makna yang benar dari ikhlas adalah sebagaimana yang dikatakan oleh Abu ‘Utsman rahimahullah, “Ikhlas adalah melupakan pandangan orang dengan senantiasa memperhatikan bagaimana pandangan (penilaian) al-Khaliq.” (lihat Adab al-’Alim wa al-Muta’allim, hal. 8)

Makna yang benar dari ikhlas adalah sebagaimana yang dikatakan oleh Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah, “ Bahwa seorang hamba akan senantiasa berada dalam kebaikan, selama jika dia berkata maka dia berkata karena Allah, dan apabila dia beramal maka dia pun beramal karena Allah.” (lihat Ta’thir al-Anfas min Hadits al-Ikhlas, hal. 592)

Makna yang benar dari Ikhlas adalah sebagaimana yang disampaikan oleh Rasulullah, "Barangsiapa mempelajari suatu ilmu yang seharusnya karena Allah Azza Wa Jalla, namun ia tidak mempelajarinya kecuali untuk mendapatkan sebagian dari dunia, maka ia tidak akan mendapatkan baunya Surga pada Hari Kiamat."  (Sunan Abu Daud 3179)

Makna yang benar dari ikhlas adalah sebagaimana yang difirmankan Allah Ta’ala,

“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus, dan supaya mereka mendirikan salat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus.” (QS. Al Bayyinah: 5)

"Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang sebelummu. "Jika kamu mempersekutukan (Tuhan), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi." (QS.Az-Zumar : 65 )

Jadi makna ikhlas hanyalah dapat diraih oleh orang yang mengenal-Nya serta tidak menyekutukan-Nya. Oleh karena itu agar keikhlasan kita semakin baik maka kenalilah Dia, Apa saja yang disukai dan diperintahkan-Nya, Apa saja yang dibenci dan dilarang-Nya, lalu murnikan semua itu dilakukan semata2 untuk menggapai ridho-Nya.

(Gantira, 21 Mei 2016, Yogyakarta)

'Sesuatu yang Patut Kita Yakini dan Percayai"

Segala sesuatu yang sudah disebutkan dalam Al-qur'an dan Hadist shahih itu patut kita yakini kebenarannya, sedangkan ungkapan atau ide manusia itu belum tentu kebenarannya berlaku bagi semua orang walaupun kata2 nya sangat memukau.

Al-quran dan hadist adalah sebuah ketetapan langsung yang sumber utamanya dari yang menciptakan alam semesta ini dan dari utusan-Nya sehingga berlaku bagi semua manusia.

Sedangkan perkataan seseorang sumbernya hanyalah ide  pribadinya yang bisa saja hanya sebuah khayalan biasa atau hasil perenungan yang mungkin berlaku hanya bagi dirinya atau beberapa orang saja.

Yang bisa dijadikan patokan untuk lebih di percayai dan diyakini itu adalah sebuah analisa dari hasil pengalaman hidup yang sudah kita lewati. Sedangkan analisa dari hasil pengalaman hidup orang lain itu hanyalah sebagai masukan saja bukan sebagai patokan utama.

Kita harus lebih percaya pada pengalaman hidup kita daripada pengalaman hidup orang lain, karena takdir setiap orang itu berbeda2. Bila orang lain mengerjakan salah satu kegiatan atau usaha bisa mendapatkan kesuksesan besar, sedangkan kita belum tentu akan memperoleh kesuksesan yang sama walaupun apa yang kita lakukan sama persis seperti yang orang lain lakukan.

Adalah suatu perbuatan bodoh bila kita melakukan suatu kegiatan atau usaha ternyata mengalami kegagalan yang berulang2, tapi kita tetap yakin bahwa usaha itu pada akhirnya akan meraih keberhasilan hanya karena melihat orang lain mendapat keberhasilan yang sama pada bidang itu. Sadarilah bahwa bisa jadi takdir kita dengan dia itu berbeda, bisa jadi kita berhasil pada bidang yang lain bukan pada bidang itu.

Umar  bin Khatab pernah berkata bahwa jika kita melakukan suatu usaha yang sama secara berulang2 namun selalu gagal, maka cobalah pindah pada bidang yang lain karena bisa jadi bidang itu bukan takdir hidup kita. Seorang yang berakal itu tidak mungkin jatuh berulang2 pada lubang yang sama.

Jadi kesimpulannya adalah bila kita ingin menggapai masa depan yang lebih baik maka jadikanlah Al-qur'an dan hadist sebagai pedoman hidup kita, serta jadikan pengalaman hidup kita sebagai pelajaran untuk kita ambil hikmahnya dalam memperbaiki apa yang telah terjadi.

Sedangkan perkataan dan pengalaman hidup orang lain, jadikanlah hanya sebagai masukan belaka. Dimana bila hal itu cocok dengan hidup kita maka dapat kita pakai, namun bila tidak sesuai dengan hidup kita maka dapat kita abaikan.

(Gantira, 21 Mei 2016, Yogyakarta)