Wednesday 28 October 2015

5. Kelalaian dari Kondisi Islam dan Dakwah Kepada Islam



A. Kewajiban Dakwah

Kita sering menganggap bahwa kewajiban dakwah (amar ma'ruf nahi mungkar) hanyalah tanggung jawab alim ulama. Padahal, yang dituju oleh Allah di dalam Al-Quran adalah secara umum mutlak kepada setiap umat Muhammad saw.. Dan kehidupan para sahabat r.a. dalam masa Khairul-Qurun (generasi terbaik) adalah bukti yang adil atas kewajiban tersebut.

Ini sesuai dengan hadits:

"Sesungguhnya kalian ialah pemimpin, dan setiap kalian akan ditanya tentang kepemimpinannya. Raja ialah pemimpin rakyatnya dan  akan ditanya tentang orang-orang yang dipimpinnya. Laki-laki adalah pemimpin ahli rumahnya. Ia akan ditanya tentang keluarga yang dipimpinnya. Istri adalah pemimpin di rumah suami dan anak-anaknya. Ia akan ditanya tentang rumah tangganya. Dan hamba sahaya adalah pemimpin atas harta majikannya. Ia akan ditanya tentang tanggung jawabnya. Singkatnya, kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan ditanya atas kepemimpinannya." (Bukhari, Muslim).

Di samping itu, hidayah yang sebenarnya adalah penerimaan manusia terhadap seluruh hukum Islam, salah satunya adalah perintah beramar ma'ruf nahi mungkar. Adapun yang menguatkan pendapat ini antara lain adalah perkataan Abu Bakar r.a.:

"Wahai manusia, sesungguhnya kalian membaca ayat berikut ini, 'Hai orang-orang beriman, waspadalah atas diri kalian. Tidak dapat mencelakakan kalian orang yang tersesat jika kalian berada di atas petunjuk. Maka sesungguhnya aku telah mendengar Rasulullah saw. bersabda, 'Sesungguhnya manusia apabila melihat kemungkaran, lalu mereka tidak berusaha mengubahnya, maka hampir saja Allah menurunkan adzab secara menyeluruh ke atas mereka.'"

Para ulama muhaqqiqin pun menyetujui makna tersebut. Imam Nawawi rah.a. dalam Syarah Muslim mengutip pendapat para ulama muhaqqiqin mengenai makna ayat di atas, "Apabila kalian telah menunaikan apa yang diperintahkan kepadamu, maka kejahatan orang-orang yang menentangmu tidak akan membahayakanmu," sebagaimana firman Allah:

"Dan tidak akan menanggung seseorang yang berdosa terhadap dosa orang lain." (Q.s. Al-Fathir : 15).

Di antara seluruh perintah tersebut, salah satunya ialah amar ma'ruf nahi mungkar. Apabila seseorang telah menyempurnakan tugas ini, maka ia tidak akan menanggung celaan dan dosa-dosa dari mereka yang tidak menerima ajakannya, sebab ia telah menunaikan kewajibannya. Dan bukan menjadi tanggung jawabnya jika orang lain tidak menerimanya. Wallaahu A'lam.

"Barangsiapa bersungguh-sungguh di jalan Kami, pasti akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami." (Q.s. Al-Ankabut: 69).

Tidak disangkal lagi bahwa Allah berjanji akan menjaga agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw., tetapi untuk mencapai kemenangan dan kemajuan tersebut, dituntut pengorbanan dan usaha kita. Para sahabat r.a. telah berusaha keras untuk mencapai tujuan tersebut, maka seperti itulah hasil yang mereka saksikan. Mereka juga telah memperoleh pertolongan dari Allah sehingga kita menyebut-nyebut keharuman nama mereka. Seandainya kita sekarang mengikuti jejak mereka dan berjuang menegakkan kalimatullah dan bersungguh-sungguh menyebarkan Islam, kita pun akan mendapatkan pertolongan Allah dan bantuan-Nya.

"Jika kalian membantu agama Allah, pasti Allah akan membantu kalian. Dan Allah akan menegakkan kaki-kaki kalian (di depan musuh kalian)." (Q.s. Muhammad: 7).

Dari Anas r.a., ia berkata, kami bertanya, "Ya Rasulullah, kami tidak akan menyuruh orang untuk berbuat baik sebelum kami sendiri mengamalkan semua kebaikan dan kami tidak akan mencegah kemungkaran sebelum kami meninggalkan semua kemungkaran." Maka Nabi saw. bersabda, "Tidak, bahkan serulah kepada kebaikan meskipun kalian belum mengamalkan semuanya, dan cegahlah dari kemungkaran, meskipun kalian belm meninggalkan semuanya." (Thabrani).

B. Metode Dakwah

Metode dakwah Rasulullah  saw. mengacu pada anjuran Allah yang tercantum dalam Alquran surat An-Nahl ayat 125.

ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ

“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk”

Ayat ini mencakup beberapa metode dakwah sebagai berikut;

1.    Disampaikan dengan cara yang hikmah

Kata hikmah berarti yang paling utama dari segala sesuatu, baik pengetahuan maupun perbuatan. Hikmah juga diartikan sebagai sesuatu yang bila digunakan/diperhatikan akan mendatangkan kemaslahatan dan kemudahan yang besar atau lebih besar serta menghalangi terjadinya kesulitan yang besar atau lebih besar.

Dakwah harus disampaikan dengan cara hikmah, agar tidak menimbulkan permasalahan umat.

Metoda ini, dapat dilakukan terhadap cendekiawan yang memiliki pengetahuan tinggi diperintahkan menyampaikan dakwah dengan hikmah, yakni berdialog dengan kata-kata bijak sesuai dengan tingkat kepandaian mereka.

2.    Mau’idzah Hasanah,

yakni memberikan nasihat dan perumpamaan yang menyentuh jiwa sesuai dengan pengetahuan para pendengarnya. Banyak ulama yang mengartikan mau’idzah dengan uraian yang menyentuh hati yang mengantar kepada kebaikan. Kata mau’idzah disifati dengan hasanah, karena ia baru dapat mengena hati sasaran bila ucapan yang disampaikan itu disertai dengan pengamalan dan keteladanan dari yang menyampaikannya.

Metode ini terutama dilakukan terhadap kaum awam, yakni memberikan nasihat dan perumpamaan yang menyentuh jiwa sesuai dengan taraf pengetahuan mereka yang sederhana.

3.    Mendebat dengan cara yang terbaik

Metode dakwah Rasulullah saw. senantiasa menghindari cara berdebat yang hanya akan melemahkan seorang da’i.

Jika terpaksa harus berdebat,  Rasulullah akan mendebat dengan cara yang sangat baik dan bijak.
Dalam kondisi perdebatan yang sudah mencapai klimaks, Rasulullah tetap mengajarkan kepada manusia cara berdebat dan berargumen yang baik dan bijak. Yang baik adalah yang disampaikan dengan sopan serta menggunakan dalil-dalil atau argumen yang benar.

Metode ini terutama dilakukan terhadap ahli al-kitab dan penganut agama-agama lain yang diperintahkan yaitu dengan logika dan retorika yang halus, lepas dari kekerasan, umpatan dan hinaan.

Penutup

Akhirnya, semoga kita bisa menjadi seorang  yang beramar ma'ruf nahi munkar yang meneladani Rasulullah, demi kemaslahatan diri kita sendiri, keluarga, dan masyarakat serta dunia.

Sumber:
1. "Nasihat untuk Orang2 Lalai"  karya   Khalid A. Mu'thi Khalid.
2. Berbagai sumber dari internet

(Gantira, 28 Oktober 2015, Bogor)

4. Kelalaian dari Tujuan Diciptakannya Manusia



Segala sesuatu yang Allah ciptakan, baik di langit maupun di bumi pasti ada tujuan dan hikmahnya. Tidaklah semata mata karena hanya suka-suka saja. Bahkan seekor nyamuk pun tidaklah diciptakan sia-sia.

Allah Ta’ala berfirman,
أَفَحَسِبْتُمْ أَنَّمَا خَلَقْنَاكُمْ عَبَثاً وَأَنَّكُمْ إِلَيْنَا لَا تُرْجَعُونَ

“Maka apakah kamu mengira, bahwa sesungguhnya Kami menciptakan kamu secara main-main (saja), dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami?” (QS. Al Mukminun:115).

Masih ada segelintir orang yang muncul dalam dirinya pertanyaan, "Untuk tujuan apa sih, kita diciptakan di dunia ini?”, bahkan dia belum menemukan jawaban dari pertanyaan ini hingga berpuluh-puluh tahun lamanya.

Dalam sebuah biografi Einstein, dia diwawancarai oleh seorang wartawan dengan pertanyaan, sandainya Einstein diberi kesempatan bertemu Tuhan, apa yang akan ditanyakannya.

Einstein menjawab bahwa dia akan bertanya kapan bumi diciptakan, kalau tahu jawabannya maka dia bisa memprediksi kapan kiamat tiba. Tapi tidak berapa lama kemudian, Einstein meralat ucapannya. Dia berkata bahwa bila dia diberi kesempatan bertemu Tuhan maka dia akan bertanya," untuk apa manusia di ciptakan?" Sehingga dia bisa melakukan semaksimal mungkin untuk tujuan itu. Einstein sampai meninggalnya tidak tahu jawaban dari pertanyaannya tersebut.

Sungguh kita sebagai seorang muslim sangat beruntung karena memiliki pedoman dalam menjalani kehidupan di dunia ini, yaitu al-quran dan hadist.

Allah Ta’ala sudah menjelaskan dengan sangat gamblangnya di dalam Al Qur’an apa yang menjadi tujuan kita hidup di muka bumi ini, beberapa  diantaranya adalah:

1.  Mengilmui Tentang Allah
Allah Ta’ala berfirman

اللَّهُ الَّذِي خَلَقَ سَبْعَ سَمَاوَاتٍ وَمِنَ الأرْضِ مِثْلَهُنَّ يَتَنَزَّلُ الأمْرُ بَيْنَهُنَّ لِتَعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ وَأَنَّ اللَّهَ قَدْ أَحَاطَ بِكُلِّ شَيْءٍ عِلْمًا

“Allah lah yang menciptakan tujuh langit dan seperti itu pula bumi. Perintah Allah berlaku padanya, agar kamu mengetahui bahwasanya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu, dan sesungguhnya Ilmu Allah benar-benar meliputi segala sesuatu.” (QS. Ath Thalaq: 12).

Allah menceritakan bahwa penciptaan langit dan bumi, agar manusia mengetahui tentang ke Maha Kuasaan Allah Ta’ala, bahwa Allah lah pemilik jagad raya ini dengan ilmu Allah yang sempurna. Tidak ada satu pun yang terluput dari ilmu dan pengawasan Allah, karena ilmu Allah meliputi segala sesuatu.

Kita diwajibkan untuk mengesakan Allah dalam nama dan sifat yang Allah namai dan sifati pada dirinya didalam kitabNya atau melalui lisan RasulNya. Yang demikian ini dengan menetapkan apa yang Allah tetapkan dan menafikan (meniadakan) apa yang Allah nafikan.
Ibnul Qoyyim rahimahullah mengatakan, “Tujuan yang terpuji yang jika setiap insan merealisasikannya bisa menggapai kesempurnaan, kebahagiaan hidup, dan keselamatan adalah dengan mengenal, mencintai, dan beribadah kepada Allah semata dan tidak berbuat syirik kepada-Nya. Inilah hakekat dari perkataan seorang hamba “Laa ilaha illallah (tidak ada sesembahan yang berhak disembah melainkan Allah)”. Dengan kalimat inilah para Rasul diutus dan semua kitab diturunkan. Suatu jiwa tidaklah menjadi baik, suci dan sempurna melainkan dengan mentauhidkan Allah semata.” (Miftaah Daaris Sa’aadah, 2/120)

2. Beribadah

Allah Ta’ala berfirman
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالإنْسَ إِلا لِيَعْبُدُونِ

“Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia, melainkan supaya mereka menyembah-Ku”. (QS. Adz Dzariyat: 56).

Ayat di atas jelas menyebutkan tujuan diciptakan manusia adalah untuk beribadah, hanya menyembah Allah semata.
Ayat ini mengisyaratkan pentingnya tauhid, karena tauhid adalah bentuk ibadah yang paling agung, mengesakan Allah dalam ibadah.

Ayat ini juga mengisyaratkan pentingnya beramal, setelah tujuan pertama manusia diciptakan adalah agar berilmu. Maka buah dari ilmu adalah beramal.

Tidaklah ilmu dicari dan dipelajari kecuali untuk diamalkan. Sebagaimana pohon, tidaklah ditanam kecuali untuk mendapatkan buahnya. Karena ilmu adalah buah dari amal.

Jadi, Allah tidaklah membiarkan kita begitu saja. Bukanlah Allah hanya memerintahkan kita untuk makan, minum, melepas lelah, tidur, mencari sesuap nasi untuk keberlangsungan hidup. Ingatlah, bukan hanya dengan tujuan seperti ini Allah menciptakan kita. Tetapi ada tujuan besar di balik itu semua yaitu agar setiap hamba dapat beribadah kepada-Nya.
Jadi beribadah kepada Allah adalah tujuan diciptakannya jin, manusia dan seluruh makhluk.

Allah menciptakan manusia untuk beribadah kepada Allah itu bukan berarti bahwa Allah butuh ibadah manusia. Tapi Allah Ta’ala menciptakan manusia justru dalam rangka berderma dan berbuat baik pada mereka, yaitu supaya mereka beribadah kepada Allah, lalu mereka pun nantinya akan mendapatkan keuntungan.

Semua keuntungan pun akan kembali kepada mereka. Hal ini sama halnya dengan perkataan seseorang, “Jika engkau berbuat baik, maka semua kebaikan tersebut akan kembali padamu”.

Jadi, barangsiapa melakukan amalan sholeh, maka itu akan kembali untuk dirinya sendiri. ” (Thoriqul Hijrotain, hal. 222)

Jelaslah bahwa sebenarnya kita lah yang butuh pada ibadah kepada-Nya karena balasan dari ibadah tersebut akan kembali lagi kepada kita.

Pengertian ibadah

Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah: ”Ibadah adalah suatu nama yang mencakup seluruh perkara yang dicintai oleh Allah dan diridhoi-Nya baik berupa ucapan maupun perbuatan baik yang tampak maupun yang tersembunyi”.

Asal ibadah adalah ketundukan dan perendahan diri. Suatu ibadah tidaklah dikatakan ibadah sampai diikhlashkan untuk Allah. Apabila ibadah itu tercampur suatu kesyirikan maka ibadah tersebut tertolak atau tidak diterima.

3. Khalifah

Dalam sebuah peristiwa besar yang disebut Allah dalam al-quran sebelum penciptaan Adam. Dalam peristiwa tersebut para malaikat dan jin yang sudah diciptakan lebih dahulu sebelum Adam, semuanya dikumpulkan di hadapan Allah.

Kemudian Allah berfirman kepada para mereka,
”Sesungguhnya Aku hendak menjadikan dimuka bumi ini seorang khalifah (pemakmur/penanggungjawab yang akan mengolah, memanfaatkan, memakmurkan bumi dengan segala aktifitasnya)”. (Qs. Al Baqarah: 30)

Dari peristiwa besar yang disebut secara jelas dalam ayat di atad, kita tahu bahwa  keberadaan manusia di muka bumi bukanlah sebuah kecelakaan melainkan memang sengaja Allah menciptakan manusia di dunia ini sebagai makhluk yang dimuliakan dan dipercaya sebagai pengemban amanah dengan sebutan “Khalifah fil Ardli” (khalifah di muka bumi).
Apa Maksudnya “Khalifah fil Ardli” (Khalifah di muka bumi)?

Makna khalifah sendiri ditafsirkan dalam beberapa makna yang berbeda oleh sebagian ulama. Namun dari beberapa penafsiran tersebut  semuanya merujuk pada pengertian: pemakmur, pengemban amanah, penanggung jawab, pengelola.

Pengertian ini sebenarnya tidak berbeda dengan pengertian Khalifah dalam sebuah pemerintahan Islam. Seorang Khalifah dalam Islam adalah orang yang diberi amanah, tanggungjawab untuk mengelola SDM dan Sumber Daya Alam di wilayah yang dipercayakan kepadanya agar lebih bermanfaat untuk rakyat banyak.
Seorang Khalifah dalam Islam harus mempertanggungjawabkan kinerja nya kepada Seluruh Rakyat dan Kepada Allah.

Penutup

Kami memohon kepada Allah, agar menunjuki kita sekalian dan seluruh kaum muslimin kepada perkataan dan amalan yang Dia cintai dan ridhoi. Tidak ada daya untuk melakukan ket_aatan dan tidak ada kekuatan untuk meninggalkan yang haram melainkan dengan pertolongan Allah.

Sumber:
1. "Nasihat untuk Orang2 Lalai"  karya   Khalid A. Mu'thi Khalid.
2. Berbagai sumber dari internet

(Gantira, 28 Oktober 2015, Bogor)

3. Kelalaian dari Umur atau Waktu



A. Keberhagaan Waktu

وَالْعَصْرِ (1) إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ (2) إِلَّا الَّذِينَ آَمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ

“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.” (QS. Al ‘Ashr: 1-3).

Allah bersumpah dengan al ‘ashr, yang dimaksud adalah waktu atau umur.

Karena waktu atau umur inilah nikmat besar yang diberikan kepada manusia. Waktu atau Umur ini akan menjadi nikmat yang sangat besar jika digunakan untuk beribadah kepada Allah. Karena sebab waktu atau umur, manusia menjadi mulia dan jika Allah menetapkan, ia akan masuk surga.

Sebaliknya, jika waktu atau umur ini tidak digunakan dengan baik maka manusia benar-benar berada dalam kerugian. Kerugian mutlak yaitu orang yang merugi di dunia dan akhirat. Ia luput dari nikmat dan mendapat siksa di neraka jahim.

Allah mengglobalkan kerugian pada setiap manusia kecuali yang punya empat sifat: (1) iman, (2) beramal sholeh, (3) saling menasehati dalam kebenaran, (4) saling menasehati dalam kesabaran.

Imam Syafi’i rahimahullah pernah berkata: “Seandainya Allah menjadikan surat ini sebagai hujjah pada hamba-Nya, maka itu sudah mencukupi mereka.”


B. Kewajiban Seorang Muslim Terhadap Waktu

Waktu adalah kehidupan itu sendiri. Semua harta benda di dunia ini, baik itu uang, emas, rumah, kendaraan atau bahkan makanan tidak lagi bermanfaat jika waktu hidup kita sudah habis tinggal di dunia ini. Oleh karena itu seorang muslim harus memanfaatkan waktu ini dengan sebaik mungkin.

Beberapa kewajiban seorang muslim dalam menggunakan waktu ini adalah:

1. Menjaga untuk selalu mengambil manfaat dari waktu

Apabila manusia sangat perhatian terhadap hartanya, sangat menjaga dan memanfaatkannya, dan dia mengetahui bahwa harta selalu datang dan pergi maka dia harus lebih lagi memperhatikan waktu dan memanfaatkan seluruhnya pada apa yang akan bermanfaat buat dunia dan akhirat. Karena waktu akan akan segera berlalu tanpa akan kembali.

2. Pengaturan waktu

Salah satu kewajiban seorang muslim adalah mengatur dan menyusun kewajiban2 dengan amalan2 lainnya, baik itu secara agama ataupun yang lainnya. Sehingga sebagian tidak mengalahkan sebagian lainnya dan tidak pula perkara yang tidak penting mengalahkan perkara penting.

Salah seorang ulama berkata bahwa waktu seorang hamba ada empat, yaitu taat, nikmat, cobaan dan maksiat.

Bila seorang hamba berada dalam ketaatan maka perlakukanlah bahwa hal itu merupakan karunia Allah yang telah memberinya hidayah dan kemudahan dalam beribadah.

Bila seorang hamba berada dalam kenikmatan maka jalannya adalah dengan cara bersyukur.

Bila seseorang berada dalam cobaan maka jalannya adalah dengan cara keridhaan dan kesabaran.

Dan barangsiapa yang waktunya berada dalam kemaksiatan maka jalannya adalah dengan bertobat dan meminta ampun.

3. Memanfaatkan waktu luangnya

Waktu luang adalah kenikmatan yang sering dilalaikan oleh banyak orang, sehingga banyak orang yang tidak menunaikan rasa syukur dan tidak pula menghargai dengan sebenarnya.

Ibnu Abbas radhiyallohu anhu berkata: Nabi shalallahualaihi wasallam bersabda :

« نِعْمَتَانِ مَغْبُونٌ فِيهِمَا كَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ الصِّحَّةُ وَالْفَرَاغُ »

“Ada dua kenikmatan yang membuat banyak manusia tertipu dengannya, yakni kesehatan dan waktu luang.”

Apabila terkumpul pada diri seseorang itu nikmat kesehatan dan nikmat waktu luang, lalu ia tidak mampu mempergunakan dua nikmat itu untuk mengerjakan sesuatu yang mendatangkan manfaat di dunia maupun di akhirat, berarti ia telah tertipu dan merugi dalam melaksanakan berbagai aktivitasnya.


C. Aktifitas yang dapat Dilakukan dalam Memanfaatkan Waktu

Sesungguhnya kesempatan untuk memanfaatkan waktu sangatlah banyak, bagi seorang muslim hendaklah dia memilih darinya apa yang sesuai dan lebih pantas untuknya, beberapa diantaranya adalah:

1.  Menghafal kitab Allah dan mempelajarinya

Ini adalah kesibukan terbaik yang dapat dilakukan oleh seorang muslim dalam memanfaatkan waktunya.

Bukhari meriwayatkan dalam kitab sahihnya dari Utsman r.a. bahwa Nabi Muhammad Saw bersabda:
"Sebaik-baik kalian adalah orang yang mempelajari Al Quran dan mengajarkannya".

Dari Abu Umamah ra. dia berkata: Aku mendengar Rasulullah saw bersabda, "Bacalah Al Qur'an sesungguhnya ia akan datang di hari Kiamat menjadi syafaat (penolong) bagi pembacanya."
(Riwayat Muslim)

2. Menuntut ilmu

Pada jaman dahulu, para salafus shaleh memanfaatkan waktunya dengan menuntut ilmu dan mempelajarinya; karena mereka mengetahui bahwa mereka membutuhkannya melebihi kebutuhan mereka terhadap makanan dan minuman.

Menuntut ilmu ini bisa dengan cara menghadiri ceramah2 penting, mendengarkan audio2 bermanfaat, membaca buku yang ada faedahnya.

3. Berzikir kepada Allah

Dari Abu Sa’id al-Khudry, Rasulullah saw pernah ditanya : “Hamba yang bagaimana yang paling tinggi derajatnya di sisi Allah kelak di hari Kiamat?” Rasulullah saw menjawab : “Mereka yang banyak berdzikir kepada Allah”. Aku bertanya : “Wahai Rasulullah, bagaimana dengan yang berperang di jalan Allah?” Rasulullah saw menjawab : “Sekalipun ia membunuh orang kafir dan orang musyrik sehingga berlimpah darah, tetap orang yang berdzikir lebih mulia derajatnya” (HR. Turmudzi).

4. Memperbanyak amalan sunnah

Dalam hadits dari Abi Umamah riwayat At-Thabrani di dalam Al-Kabir,  disebutkan: “….Hamba-Ku yang terus-menerus mendekatkan dirinya kepada-Ku dengan melaksanakan ibadah sunah, maka pasti Aku akan mencintainya.."

5. Berdakwah, amar ma'ruf nahi munkar

Rasulullah pernah bersabda: “Barangsiapa yang melihat kemungkaran, maka cegahlah dengan tanganmu, apabila belum bisa, maka cegahlah dengan mulutmu, apabila belum bisa, cegahlah dengan hatimu, dan mencegah kemungkaran dengan hati adalah pertanda selemah-lemah iman”

6. Silaturrahmi

"Siapa yang suka dilapangkan rezekinya dan dipanjangkan umurnya, hendaklah ia menyambung hubungan silaturahim. "
(HR. Bukhari Muslim dari Anas radhiyallohu'anhu)

7. Mempelajari segala sesuatu yang bermanfaat

Mempelajari segala sesuatu yang bermanfaat buat dirinya, keluarganya dan juga masyarakat seperti mempelajari komputer, pertanian, perdagangan, listrik, mekanik, bahasa serta ilmu lainnya yang dapat menunjang dalam rangka mencari nafkah dan kemakmuran umat manusia di dunia.

C. Kisah beberapa para

Sahabat dan Salafus Shaleh dalam memanfaatkan waktunya

Generasi terbaik umat ini sangat perhatian dengan berlalunya kedipan mata, menit, detik, siang dan malam. Mereka koreksi amal mereka di sepanjang waktu dengan disertai bertaubat dan memperbanyak amal kebajikan yang bisa menghilangkan keburukan dan memutihkan lembar catatan amal.

Beberapa kisah mereka terkait waktu ini adalah:

1. Ibnu Mas’ud mengatakan, “Aku tidak pernah menyesali sesuatu sebagaimana penyesalannya disebabkan matahari sudah tenggelam yang berarti jatah hidupku berkurang namun amal kebaikanku tidak bertambah”.

2. Jika malam tiba, Mufadhdhal bin Yunus mengatakan, “Sudah genap sehari umurku berlalu.” Demikian pula jika pagi tiba, beliau menyambutnya dengan berkata, “Genap sudah semalam umurku berkurang”. Saat menjelang meninggal beliau menangis seraya berkata, “Aku sadar dengan beriringnya malam dan siang aku memiliki hari yang sangat menyusahkan, menyedihkan dan menyesakkan. Tiada sesembahan yang berhak disembah melainkan zat yang menetapkan kematian atas makhluknya dan menjadikannya sebagai sebuah keadilan di antara hamba-hambaNya”. Setelah itu beliau membaca firman Allah,

الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلاً وَهُوَ الْعَزِيزُ الْغَفُورُ

“Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” (QS. al Mulk[67]: 2). Beliau kemudian menarik napas panjang lantas tak lama kemudian meninggal.


3. Mufadhdhal bin Yunus bercerita, “Suatu hari aku berjumpa dengan saudara Bani al Harits yang bernama Muhammad bin an Nadhr dalam kondisi murung dan sedih. “Bagaimanakah keadaanmu? Ada apa dengan dirimu”, sapaku. “Satu malam dari umurku sudah berlalu sedangkan aku belum berbuat apa-apa untuk diriku. Satu hari juga sudah berlalu dan aku belum melihat diriku berbuat sesuatu yang berarti. ‘Inna lillahi wa inna ilaihi roji’un’, jawabnya dengan lugas.

Serta banyak lagi kisah-kisah lainnya.

Dari tiga contoh kisah di atas, apakah mereka benar-benar belum berbuat apa-apa? Tentu kita yakin, kata tidak adalah jawaban dari pertanyaan tersebut karena adalah orang yang gemar mengerjakan shalat, berpuasa dan berzikir. Tetapi mereka menilai bahwa mereka belum melakukan apa yang seharusnya mereka kerjakan. Mereka selalu menilai diri mereka belum berbuat yang terbaik padahal mereka telah melakukan yang terbaik dan mereka telah bersusah-payah untuk itu.

Penutup

Banyak orang yang berniat untuk bertaubat, berbuat baik, meninggalkan kemaksiatan dan sebagainya, tetapi semuanya terhenti pada niat, keinginan, harapan dan angan-angan, serta cukup puas dengan hanya mengeluarkan kata "akan",  "mudah-mudahan", "semoga"….. tanpa ada tekad kuat untuk merealisasikannya.

Seorang penyair berkata, tak akan kutunda pekerjaan hari ini hingga hari esok karena malas, sungguh esok adalah hari bagi para pemalas.

Keputusan ini ada di tangan kita, meniti jalan Allah dengan melakukan segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya sekarang, atau kita tetap tenggelam dalam kemaksiatan.

Ya Rahman, Bimbinglah kami ke Jalan kebenaran...aamiin...3x


Sumber:
1. "Nasihat untuk Orang2 Lalai"  karya   Khalid A. Mu'thi Khalid.
2. Berbagai sumber dari internet

(Gantira, 28 Oktober 2015, Bogor)

2. Kelalaian Dari Hal-hal yang Menyelamatkan



Beberapa hal yang dapat menyelamatkan adalah terkait dengan memperbanyak bekal diri dengan melakukan tindakan-tindakan yang dapat mendatangkan keuntungan bagi kita berupa ketaatan, ketakwaan, maupun amal-amal kebajikan lainnya.

Yang dimaksud dengan ketaatan dalam agama Islam adalah setiap hal yang diperintahkan oleh Zat Yang Maha Bijaksana kepada hamba-Nya disertai dengan janji mendapatkan pahala bagi orang yang melaksanakannya.

Allah swt menetapkan beragam bentuk ibadah untuk hamba-Nya sebagai media untuk mendapatkan ampunan dan keridhaan-Nya. Pada dasarnya, Allah swt tidak membutuhkan hamba-hamba-Nya. Meskipun demikian, Dia tetap menyeru kepada mereka.

Namun, sungguh sangat mengherankan karena hamba-hamba yang lemah tersebut selalu melupakan seruan dan ajakan Allah swt, Yang Mahakuat, Mahakaya dan Mahamulia, bahkan mereka lebih mengutamakan ajakan dan bujuk rayu setan yang hina. Sebagaimana firman-Nya dalam surat Al-An'aam ayat 71:

'Katakanlah: "Apakah kita akan menyeru selain daripada Allah, sesuatu yang tidak dapat mendatangkan kemanfaatan kepada kita dan tidak (pula) mendatangkan kemudharatan kepada kita dan (apakah) kita akan kembali ke belakang, sesudah Allah memberi petunjuk kepada kita, seperti orang yang telah disesatkan oleh syaitan di pesawangan yang menakutkan; dalam keadaan bingung, dia mempunyai kawan-kawan yang memanggilnya kepada jalan yang lurus (dengan mengatakan): "Marilah ikuti kami". Katakanlah: "Sesungguhnya petunjuk Allah itulah (yang sebenarnya) petunjuk; dan kita disuruh agar menyerahkan diri kepada Tuhan semesta alam.  (6: 71)

A. Petunjuk-Petunjuk Al-quran

Beberapa petunjuk al-quran untuk orang-orang yang sedang melakukan perjalanan memburu "emas dan perak" yang tersimpan:

1. Berlomba-lomba dalam melakukan kebajikan.

Dalam surat al-Maidah ayat 48 menerangkan tentang masalah ini:

"...Untuk tiap-tiap umat diantara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. .."

2. Bersengketa dalam ketaatan

Sebagaimana terdapat dalam surat Al-Mu'minun ayat 61:

(61). أُولَٰئِكَ يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَهُمْ لَهَا سَابِقُونَ

"mereka itu bersegera untuk mendapat kebaikan-kebaikan, dan merekalah orang-orang yang segera memperolehnya."

3. Kejujuran dan keteguhan hati

Di antara ayat yang menganjurkan untuk jujur dan berketetapan hati adalah surat Al-Ahzab ayat 23:

مِنَ الْمُؤْمِنِينَ رِجَالٌ صَدَقُوا مَا عَاهَدُوا اللَّهَ عَلَيْهِ فَمِنْهُمْ مَنْ قَضَى نَحْبَهُ وَمِنْهُمْ مَنْ يَنْتَظِرُ وَمَا بَدَّلُوا تَبْدِيلًا


"Diantara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah; maka diantara mereka ada yang gugur . Dan diantara mereka ada (pula) yang menunggu-nunggu dan mereka sedikitpun tidak merubah (janjinya )". (QS. Al Ahzab: 23)

B. Petunjuk- Petunjuk dari As-sunnah

Beberapa petunjuk As-sunnah untuk orang-orang yang sedang melakukan perjalanan memburu "emas dan perak" yang tersimpan:

1. Meningkatkan Semangat dan Menghilangkan Malas

Sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam,
 
"...Bersemangatlah atas hal-hal yang bermanfaat bagimu. Minta tolonglah pada Allah, jangan engkau lemah. Jika engkau tertimpa suatu musibah, maka janganlah engkau katakan: ‘Seandainya aku lakukan demikian dan demikian.’ Akan tetapi hendaklah kau katakan: ‘Ini sudah jadi takdir Allah. Setiap apa yang telah Dia kehendaki pasti terjadi.’ Karena perkataan law (seandainya) dapat membuka pintu syaithon.” (HR. Muslim)

2. Istighfar ((Memohon Ampunan)

Dalam sebuah hadist qudsi, rasulullah saw bersabda:

"Seorang hamba melakukan dosa lalu berkata, 'Ya Allah, ampunilah dosaku.' Allah Tabaraka wa Ta`ala berfirman, 'Hamba-Ku melakukan dosa dan tahu kalau ia mempunyai Tuhan yang mengampuni dosa dan menyiksa karena dosa.' Kemudian hamba tersebut kembali melakukan dosa dan berkata, 'Ya Tuhanku, ampunilah dosaku.' Allah Tabaraka wa Ta`ala berfirman, 'Hamba-Ku melakukan dosa dan tahu kalau ia mempunyai Tuhan yang mengampuni dosa dan menyiksa karena dosa.' Kemudian hamba tersebut kembali melakukan dosa dan berkata, 'Ya Tuhanku, ampunilah dosaku.' Allah Tabaraka wa Ta`ala berfirman, 'Hamba-Ku melakukan dosa dan tahu kalau ia mempunyai Tuhan yang mengampuni dosa dan menyiksa karena dosa. Aku telah mengampuni hamba-Ku (selama ia bertobat), silakan dia berbuat sesuka hatinya.'"(HR. Bukhari Muslim)

Hadist ini menjelaskan bahwa selagi orang yang melakukan dosa mau meminta ampun kepada-Nya, Allah swt akan mengampuninya. Permohonan ampunan disini adalah permohonan yang diikuti oleh keinginan kuat untuk meninggalkan perbuatan dosanya tersebut sehingga perbuatan dosanya tidak menjadi kebiasaan.

Sumber:
1. "Nasihat untuk Orang2 Lalai"  karya   Khalid A. Mu'thi Khalid.
2. Berbagai sumber dari internet

(Gantira, 28 Oktober 2015, Bogor)

1. Kelalaian dari Hal-hal yang Membinasakan


Jika seorang manusia jatuh dalam sebuah sumur dan hampir binasa, logika akal mengharuskan kita untuk menyelamatkannya terlebih dahulu sebelum melakukan hal lainnya. Kemudian kita mulai dari fase kosong.

Seperti diketahui, kedudukan orang secara umum itu ada tiga kemungkinan negatif - kosong - positif. Orang yang sedang berada dalam kebinasaan adalah orang yang sedang berada dalam fase negatif. Jadi, ia harus diselamatkan terlebih dahulu sebelum mulai bergerak dengan sehat.

Rasulullah saw, bersabda:

"Jauhilah hal-hal yang diharamkan, niscaya engkau menjadi orang yang paling banyak ibadahnya" (hr. Ahmad dan Tirmidzi)

Jadi salah satu hal kelalaian yang dapat membinasakan adalah hal-hal yang diharamkan oleh Allah. Maka berusahalah sekuat tenaga kita menjauhi hal2 yang haram ini bila kita tidak ingin binasa.

Para ulama salaf berkata, "Kami meninggalkan banyak pintu kebaikan karena takut jatuh dalam kejahatan."

Rasulullah saw bersabda,"Seorang hamba tidak mencapai derajat muttaqin hingga ia meninggalkan sesuatu yang tidak haram karena hati-hati agar tidak jatuh kepada yang haram" (hr Tirmidzi dan ibnu Majah).

Keterjagaan dan cepat kembali dari ketergelinciran, wujudnya adalah ketika seseorang sedang tergelincir ke dalam kejahatan, ia segera bertobat dan kembali kepada Rabb-nya. Sesuai dengan firman Allah swt:
dalam surat al-A'raf ayat 201:


{إِنَّ الَّذِينَ اتَّقَوْا إِذَا مَسَّهُمْ طَائِفٌ مِنَ الشَّيْطَانِ تَذَكَّرُوا فَإِذَا هُمْ مُبْصِرُونَ (201)

"Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa bila mereka ditimpa was-was dari setan, mereka ingat kepada Allah, maka ketika itu juga mereka melihat kesalahan-kesalahannya."

Setan mempunyai banyak cara untuk menggoda manusia. Bila ia tidak mampu menjerumuskan manusia ke dunia kesesatan, ia akan mendorongnya melakukan tindakan-tindakan yang bisa menyebabkan amal-amal yang sudah dilakukan menjadi musnah. Ia tumbuhkan rasa riya di hati manusia. Bila cara ini tidak berhasil , ia akan memasukkan rasa bangga terhadap diri sendiri dan keinginan untuk dipuji dalam hati mereka. Bila cara ini tidak berhasil, ia akan mendorong mereka membicarakan keberhasilan-keberhasilan mereka dan di hati mereka ditumbuhkan rasa dan keinginan untuk dipuji. Begitulah seterusnya, bila satu cara tidak berhasil, setan akan mencoba dengan cara yang lain hingga tipu dayanya berhasil. Singkatnya, setan tidak pernah capai apalagi putus asa.

Bahkan lebih dari itu, iblis juga berusaha untuk menumbuhkan rasa penyesalan di hati manusia atas ketaatan dan amal-amal kebajikan yang selama ini mereka lakukan, hingga pahala-pahala amalnya sedikit demi sedikit semakin berkurang. Akhirnya, bisa jadi ada seorang hamba Allah yang di dunia ini banyak melakukan ketaatan dan sama sekali tidak pernah melakukan kemaksiatan, tetapi di akhirat nanti ia tidak mendapatkan pahala sama sekali.

Penutup

Jika kita telah berhasil menjauhi hal2 yang bisa menyebabkan binasa dan selalu waspada dari godaan dan bujuk rayu syetan, maka kita telah berhasil membersihkan diri dari penyakit2 yang membahayakan, utamanya penyakit lalai, ceroboh, dan kurang waspada.

Sampai tingkatan ini maka kita berada pada titik nol. Artinya, kita tidak menyimpan hal-hal yang membahayakan dan juga tidak mempunyai modal dan bekal untuk meraup keuntungan.

Oleh karena itu, pada langkah2 selanjutnya, kita harus memperbanyak bekal diri dengan melakukan tindakan2 yang dapat mendatangkan keuntungan bagi kita, baik berupa ketaatan, ketakwaan, maupun amal2 kebajikan lainnya. Tentunya, semua ini harus dilakukan atas dasar mencari ridha Allah swt.

Sumber:
1. "Nasihat untuk Orang2 Lalai"  karya   Khalid A. Mu'thi Khalid.
2. Berbagai sumber dari internet

(Gantira, 28 Oktober 2015, Bogor)

"Nasihat untuk Orang-Orang Lalai"



Lalai adalah salah satu penyakit yang paling berbahaya yang menimpa individu dan umat. Ia adalah penyakit yang amat membinasakan, yang membunuh kebaikan dan penghancur semangat.

Dalam surat al-A’raf ayat 179, difirmankan:

وَلَقَدْ ذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيرًا مِنَ الْجِنِّ وَالْإِنْسِ لَهُمْ قُلُوبٌ لَا يَفْقَهُونَ بِهَا وَلَهُمْ أَعْيُنٌ لَا يُبْصِرُونَ بِهَا وَلَهُمْ ءَاذَانٌ لَا يَسْمَعُونَ بِهَا أُولَئِكَ كَالْأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ أُولَئِكَ هُمُ الْغَافِلُونَ

 “Dan sesungguhnya telah kami sediakan untuk mereka jahannam banyak dari jin dan manusia; mereka mempunyai hati (tetapi) tidak mereka gunakan memahami, dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak mereka gunakan untuk melihat dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak mereka gunakan untuk mendengar, mereka itu seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi, mereka itulah orang-orang yang lalai”.

Ada 5 kelalaian pokok utama yang sering terjadi pada manusia, yaitu:

1) Kelalaian dari apa yang membahayakan hamba dan membuat turunnya kemurkaan Allah, yaitu kelalaian dari hal-hal yang membinasakan.

Beberapa hal yang termasuk kelalaian yang membinasakan adalah melakukan perbuatan yang berkaitan dengan hal-hal yang diharamkan dan penyakit-penyakit hati yang bisa menghilangkan pahala amal serta memperbanyak dosa, seperti penyakit riya, bangga terhadap diri sendiri, iri dan dengki, pengecut serta banyak lagi penyakit lainnya.


2) Kelalaian dari apa yang menyelamatkannya dari azab Allah, yaitu kelalaian dari hal-hal yang menyelamatkan.

Beberapa hal yang dapat menyelamatkan adalah terkait dengan memperbanyak bekal diri dengan melakukan tindakan-tindakan yang dapat mendatangkan keuntungan bagi kita berupa ketaatan, ketakwaan, maupun amal-amal kebajikan lainnya.

Yang dimaksud dengan ketaatan dalam agama Islam adalah setiap hal yang diperintahkan oleh Zat Yang Maha Bijaksana kepada hamba-Nya disertai dengan janji mendapatkan pahala bagi orang yang melaksanakannya.

Allah swt menetapkan beragam bentuk ibadah untuk hamba-Nya sebagai media untuk mendapatkan ampunan dan keridhaan-Nya.

3) Kelalaian dari modal hamba dan bekalnya di jalan, yaitu kelalaian dari umur atau waktu.

Waktu atau umur adalah nikmat besar yang diberikan kepada manusia. Waktu atau Umur ini akan menjadi nikmat yang sangat besar jika digunakan untuk beribadah kepada Allah. Karena sebab waktu atau umur, manusia menjadi mulia dan jika Allah menetapkan, ia akan masuk surga.

Sebaliknya, jika waktu atau umur ini tidak digunakan dengan baik maka manusia benar-benar berada dalam kerugian. Kerugian mutlak yaitu orang yang merugi di dunia dan akhirat. Ia luput dari nikmat dan mendapat siksa di neraka jahim.

4) Kelalaian dari tujuan diciptakannya manusia, yaitu kelalaian dari misi-misi  agung.

Segala sesuatu yang Allah ciptakan, baik di langit maupun di bumi pasti ada tujuan dan hikmahnya.

Ada 3 tujuan diciptakannya manusia, yaitu:

a. Mengilmui Tentang Allah

Sebagaimana yang disebutkan dalam firman-Nya:

اللَّهُ الَّذِي خَلَقَ سَبْعَ سَمَاوَاتٍ وَمِنَ الأرْضِ مِثْلَهُنَّ يَتَنَزَّلُ الأمْرُ بَيْنَهُنَّ لِتَعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ وَأَنَّ اللَّهَ قَدْ أَحَاطَ بِكُلِّ شَيْءٍ عِلْمًا

“Allah lah yang menciptakan tujuh langit dan seperti itu pula bumi. Perintah Allah berlaku padanya, agar kamu mengetahui bahwasanya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu, dan sesungguhnya Ilmu Allah benar-benar meliputi segala sesuatu.” (QS. Ath Thalaq: 12).

b. Beribadah

Seperti yang dinyatakan dalam:

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالإنْسَ إِلا لِيَعْبُدُونِ

“Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia, melainkan supaya mereka menyembah-Ku”. (QS. Adz Dzariyat: 56).

c. Khalifah

Dalam surat Al-baqarah ayat  30 disebutkan:

”Sesungguhnya Aku hendak menjadikan dimuka bumi ini seorang khalifah (pemakmur/penanggungjawab yang akan mengolah, memanfaatkan, memakmurkan bumi dengan segala aktifitasnya)”. (Qs. Al Baqarah: 30)

5) Kelalaian dari kondisi Islam dan dakwah kepada Islam.

Kewajiban dakwah (amar ma'ruf nahi mungkar) secara umum ditujukan kepada setiap umat Muhammad saw. Sebagaimana Rasulullah saw. bersabda, 'Sesungguhnya manusia apabila melihat kemungkaran, lalu mereka tidak berusaha mengubahnya, maka hampir saja Allah menurunkan adzab secara menyeluruh ke atas mereka.'"

Apabila seseorang telah menyempurnakan tugas ini, maka ia tidak akan menanggung celaan dan dosa-dosa dari mereka yang tidak menerima ajakannya, sebab ia telah menunaikan kewajibannya. Dan bukan menjadi tanggung jawabnya jika orang lain tidak menerimanya. Wallaahu A'lam.

Untuk penjelasan lebih mendetail pada 5 pokok di atas, dapat dilihat pada postingan berikutnya.

Sumber:
1. "Nasihat untuk Orang2 Lalai"  karya   Khalid A. Mu'thi Khalid.
2. Berbagai sumber dari internet

(Gantira, 28 Oktober 2015, Bogor)