Wednesday 30 August 2017

"Mendidik Anak dengan Ilmu bukan dengan Hawa Nafsu"

Anak adalah salah satu anugerah sekaligus ujian bagi orang tuanya.

Karena posisi anak ini  berada pada dua sisi yang berbeda, dimana dia bisa membuat kita dalam situasi  tertekan (ujian) dan di sisi lain bisa juga membuat kita dalam situasi bahagia (anugrah), untuk itu sering timbul pertanyaan dari para orang tua, "Bagaimana cara mendidik anak?"

Ada istilah umum yang diketahui dan dipercayai sebagai sistem pendidikan yang menurut  kebanyakan dinilai bagus, yaitu "Didiklah anak-anak dengan cinta, bukan dengan Hawa nafsu".

Padahal kata cinta ini pun mengandung makna ganda tergantung dari sumber dan sudut pandang yang diambil.

Bisa jadi membiarkan atau melarang anak melakukan sesuatu yang menurut kita sebagai cinta, namun kalau diamati dari segi ilmu sebenarnya termasuk hawa nafsu yang artinya tidak mendidik. Atau sebaliknya bisa jadi tindakan di atas dianggap sebagai pelampiasan hawa nafsu, padahal kalau berdasarkan ilmu, hal itu termasuk tindakan yang benar.

Jadi istilah yang lebih tepat adalah "Didiklah anak-anak dengan ilmu, bukan dengan hawa nafsu".

Pertanyaan selanjutnya, ilmu apakah yang benar? Maka jawabannya adalah ilmu yang referensinya dengan mencontoh manusia terbaik dimuka bumi ini, yaitu Rasulullah yang tidak lepas dari firman-Nya; selanjutnya adalah mencontoh umat terbaik, yaitu generasi para sahabat,  generasi Tabiin serta generasi Tabiit tabiin.

Beberapa pondasi ilmu yang terkait dengan pendidikan anak ini beberapa diantaranya:

“Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia.” (Qs. Al-Kahfi: 46)

Dalil di atas menyebutkan bahwa posisi anak itu bagaikan harta, yaitu sebagai perhiasan dunia.

Apa yang akan kita lakukan pada harta kita yang sangat berharga? Maka begitu juga yang harus kita lakukan pada anak-anak kita.

Kita akan berusaha menjaga harta berharga yang kita miliki agar jangan sampai dicuri  atau dirusak orang lain; begitu juga dengan anak kita, kita mesti menjaganya jangan sampai salah pergaulan sehingga merusak akhlak mereka.

Kita akan menshadaqahkan harta kita agar mendapat tabungan di akhirat kelak; begitu juga dengan anak-anak kita, seharusnya kita mengarahkan mereka agar mereka bisa menjadi ladang amal kita di akhirat kelak.


Rasulullah saw bersabda,“Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian bertanggung jawab atas orang yang dipimpinnya. Seorang ‘Amir (penguasa) adalah pemimpin, seorang suami pun pemimpin atas keluarganya, dan istri juga pemimpin bagi rumah suaminya dan anak-anaknya. Setiap kalian adalah pemimpin dan kamu sekalian akan diminta pertanggung jawaban atas apa yang dipimpinnya.”
(Hr. Muslim)

Dari hadist di atas dijelaskan bahwa orang tua adalah pemimpin bagi anak2nya.

Banyak sekali tindakan yang harus dilakukan oleh seorang pemimpin terhadap anggotanya agar kelompoknya selamat dan sejahtera, maka begitu juga yang harus dilakukan orang tua pada anak-anaknya agar terbentuk keluarga yang bahagia sesuai aturan yang telah ditetapkan-Nya.

Jadi sudah tidak pada tempatnya jika seorang anak mengatur orang tua, karena hal ini bagaikan anggota yang mengatur pemimpinnya. Bila hal ini yang terjadi maka kelompok yang ada akan menjadi kacau dan tidak beraturan. Yang masih diperkenankan itu adalah seorang anggota memberikan masukan pada pemimpinnya, namun keputusan akhir tetap berada di tangan seorang pemimpin.

Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya sebaik-baik yang dimakan oleh seseorang adalah makanan yang dihasilkan dari usahanya sendiri. Dan sesungguhnya anak itu termasuk dari usahanya.”
(Hadits shahih, diriwayatkan oleh Abu Dawud & An-Nasa’i)

Dari hadist di atas dijelaskan bahwa anak adalah salah satu hasil usaha orang tuanya, sehinga orang tua harus mendidik anak dengan sebaik-baiknya sehingga hasilnya dapat kita petik buat bekal di akhirat kelak.

Pertanyaan selanjutnya adalah "Bagaimana cara mendidik Rasulullah, para sahabat, para Tabiin serta para Tabiit Tabiin terhadap anak?"

Ada dua point utama yang dilakukan oleh mereka dalam mendidik anak, yaitu:

1. Memberikan pondasi aqidah yang kuat

Satu hal yang pertama kali dilakukan oleh mereka terhadap anak adalah memberikan pondasi yang kuat, yaitu berupa kekuatan aqidah yang kokoh.


Sebagaimana nasihat Rasulullah saw   kepada  ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu’anh.

Rasulullah saw bersabda,
"Wahai anakku, sesungguhnya aku akan mengajarkan kepadamu beberapa kalimat. Jagalah (hak-hak) Allah, niscaya Allah akan menjagamu, jagalah (hak-hak) Allah, niscaya engkau mendapati-Nya di hadapanmu. Apabila engkau meminta, maka mintalah kepada Allah, dan apabila engkau memohon pertolongan maka mohonlah kepada Allah. Dan ketahuilah, sekiranya ummat ini bersatu untuk memberimu manfaat maka manfaat tersebut tidak akan sampai kepadamu kecuali apa yang telah ditetapkan Allah atasmu. Dan apabila ummat ini bersatu untuk mencelakakanmu maka sedikit pun mereka tidak akan mampu melakukannya kecuali apa yang telah Allah tetapkan atasmu. Pena (takdir) telah terangkat dan lembaran (takdir) telah mengering.

Dan ketahuilah, sesungguhnya bersabar atas apa-apa yang tidak engkau sukai itu memiliki kebaikan yang amat banyak. Dan sesungguhnya pertolongan itu (ada) bersama kesabaran. Dan sesungguhnya kelapangan itu (datang) bersama kesulitan, dan sesungguhnya kesulitan itu bersama kemudahan.”

Begitulah salah satu didikan Rasulullah dalam menanamkan aqidah yang kokoh kepada Abdullah bin Abbas, yang saat itu masih kecil.

Penanaman aqidah sangat penting diberikan  pada anak2, karena dengan modal aqidah yang kokoh dan benar, maka akan membuat hidup seseorang bahagia dunia dan akhirat.

Dengan pendidikan Rasulullah kepada Abdullah bin Abbas ini, akhirnya sejarah mencatat Abdullah bin Abbas sebagai salah seorang sahabat yang dikenal akan ketakwaan dan keilmuannya sehingga beliau  dijadikan salah satu sumber  rujukan utama dalam menimba ilmu oleh generasi setelahnya.

2. Mendidik mereka agar memiliki akhlak yang mulia

Rasulullah saw bersabda, “Tidak ada sesuatupun yang paling berat dalam timbangan seorang Mukmin pada hari Kiamat nanti daripada akhlak mulia.” (Hr. Tirmidzi)

Jadi tugas utama orang tua dalam mendidik anak-anaknya selain menamakan kekuatan aqidah, juga membentuk mereka agar memiliki akhlak yang mulia.

Akhlak yang mulia ini dapat dibagi dalam beberapa hal, yaitu akhlak kepada Allah, ahlak kepada Rasulullah, akhlak kepada diri sendiri dan orang lain serta akhlak kepada makhluk  hidup lainnya.

Mengajarkan pada anak bagaimana akhlak kepada Allah itu adalah berupa ibadah atau penghambaan  kepada-Nya tanpa disertai perbuatan syirik, mentaati semua perintah-Nya dan menjauhi semua larangan-Nya, serta ridha terhadap takdir-Nya yang telah ditetapkan terhadap mereka.

Akhlak yang baik kepada Rasulullah itu adalah berupa meyakini bahwa Rasulullah merupakan Nabi dan Rasul terakhir bagi seluruh manusia, mencintai beliau serta  mentaati apa yang beliau perintahkan dengan mengikuti sunnahnya dan menjauhi apa yang dilarangnya.

Akhlak terhadap diri sendiri dan sesama manusia, adalah seperti bagaimana adab makan dan minum, adab berpakaian, adab bepergian, adab menerima tamu, ada bergaul dengan masyarakat serta adab-adab lainnya yang dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya.

Akhlak terhadap makhluk lainnya adalah memperlakukan mereka sesuai dengan syari'at yang telah dicontohkan oleh Rasulullah, para sahabat serta generasi terbaik selanjutnya. Contohnya adalah tidak menyakiti dan menyiksa hewan, memperlakukan tumbuhan sesuai dengan kebutuhan kita agar terjadi keberlanjutan untuk kesejahteraan makhluk hidup serta tidak ikut campur atau bergaul dengan kehidupan dunia jin yang memang berbeda alam dengan kita.

Jadi cara mendidik anak yang baik itu adalah mendidik anak dengan ilmu yang pedomannya berdasarkan apa yang dicontohkan Rasulullah serta orang2 bertakwa yang mengikuti beliau, bukan berdasarkan hawa nafsu atau keinginan kita belaka tanpa dasar ilmu.

Semoga kita dianugrahi anak-anak yang bertakwa yang memiliki aqidah yang kuat serta akhlak yang mulia, aamiin..aamiin..aamiin ya robbal alamin..

(Gantira, 31 Agustus 2017, Bogor)

Saturday 19 August 2017

"Apakah Makna Kemerdekaan dalam Kehidupan Kita?"

Secara umum arti merdeka adalah bebas, yaitu bebas dari ketakutan, bebas dari tekanan, bebas dari kekhawatiran, bebas dari masalah, bebas dari kekurangan, bebas dari hutang, bebas dari kegelisahan akan masa depan yang tidak jelas, bebas dari penindasan, bebas dari kehinaan, bebas dari kebingungan serta bebas2 lainnya yang bisa membuat hati kita sesak baik dari segi ekonomi, kesehatan,  maupun hal lainnya.

Oleh karena itu, para pejuang kemerdekaan negeri kita memiliki salah satu semboyan "merdeka atau mati?" Karena pada dasarnya sangat menderita dan menyesakkan dada jika kita belum merdeka.

Orang yang tidak beriman atau orang yang berputus asa dari rahmat Allah lebih memilih bunuh diri untuk membebaskan diri dari penderitaan, penindasan, kegelisahan dan ketakutan yang dialaminya hanya untuk memperoleh impian kemerdekaan jiwanya. Akan tetapi, dia akan benar2 terkejut jika setelah mati ternyata penderitaan yang dihadapinya  jauh lebih hebat daripada yang dialami saat di dunia dan hilanglah harapan kemerdekaan yang diidam2kannya itu.

Jadi bagaimana cara agar  kita bisa memperoleh kemerdekaan yang hakiki ini?

Satu2nya cara untuk mendapatkan kemerdekaan adalah dengan cara berusaha untuk mendapatkan predikat taqwa.

Karena dengan taqwa kita akan bebas dari ketakutan yang disebabkan oleh makhluk, kita akan bebas dari rasa kegelisahan masa yang akan datang, kita akan mendapatkan rizki yang tak terduga2, kita bisa mendapatkan jalan keluar dari setiap kesulitan yang ada, kita akan merasa tercukupi atas setiap kebutuhan kita, serta yang paling penting dengan takwa setelah meninggalkan dunia ini kita  bisa memperoleh kebahagiaan yang  abadi.

Beberapa dalil terkait cara memperoleh kemerdekaan dengan takwa ini adalah

1. Surat At-Taubah [9] ayat 4

“Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertaqwa”

Dengan bertaqwa kita akan memperoleh cinta-Nya. Barangsiapa yang memperoleh cinta-Nya maka setiap kebutuhannya akan dipenuhi, bahkan Allah akan memberikan segala apapun yang bermanfaat di dunia ini dan di akhirat kelak buat hamba yang dicintai-Nya, tanpa terbayangkan sebelumnya oleh hamba tersebut. Sehingga orang bertakwa akan merdeka dari segala kebutuhan hidupnya.

2. Surat An-Nahl [16]: ayat 128

"Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang bertaqwa dan berbuat kebaikan”

Dengan bertakwa kita akan selalu bersama-Nya, sehingga tidak ada lagi rasa takut dari semua makhluk2-Nya. Karena pada dasarnya, semua makhluk-Nya adalah lemah bila tanpa ada izin dari-Nya. Sehingga wajar saja orang yang bertakwa akan mendapatkan kemerdekaan dari rasa takut.

3. Surat Al-Baqarah [2]: ayat 2

 “Kitab (Al-Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa”

Orang bertaqwa akan memperoleh petunjuk dari Al-quran yang dibacanya. Dia akan memahami dan merasakan manfaat yang besar dari semua firman-Nya. Sehingga Al-quran dijadikannya sebagai salah satu obat mujarab untuk mengatasi dan mencari jalan keluar dari setiap permasalahan hidupnya.

4. Surat Al-A’raf [7] ayat 201

“Sesungguhnya orang-orang yang bertaqwa bila mereka ditimpa was-was dari setan, mereka ingat kepada Allah, maka ketika itu juga mereka melihat kesalahan-kesalahannya”

Orang bertakwa akan memperoleh kemerdekaan dari rasa was-was, karena dia memiliki solusinya yaitu mengingat Allah.

5. Surat Al-A’raf [7] ayat 35

 “Barangsiapa yang bertaqwa dan mengadakan perbaikan, tidaklah ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati”

Orang yang bertakwa akan merdeka dari kekhawatiran dan kesedihan.

6. Surat  Al-Maidah [5] ayat 27

“Sesungguhnya Allah hanya menerima (korban) dari orang-orang yang bertaqwa”

Setiap amal perbuatan orang yang bertaqwa tidak akan sia2, karena semuanya akan diterima oleh-Nya dan akan mendapatkan hasilnya di dunia dan akhirat kelak.

7. Surat Ath-Thalaq [65]: ayat 2 dan  Surat Ath-Thalaq [65]: ayat 4

“Barangsiapa yang bertaqwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar” .

“Dan barangsiapa yang bertaqwa kepada Allah niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya”

Orang yang bertakwa akan memperoleh kemudahan setelah kesulitan, kelapangan setelah kesempitan

8. Surat Al-Anfal [8] ayat  29

 “Hai orang-orang beriman, jika kamu bertaqwa kepada Allah, niscaya Dia akan memberikan kepadamu furqaan dan menghapuskan segala kesalahan-kesalahan dan mengampuni (dosa-dosa)mu”

Orang bertaqwa akan merdeka dari kebingungan, karena dia memiliki firasat, hikmah dan cahaya hati.


9. Surat Ali Imran [3] ayat 133 dan Surat Maryam [19] ayat 72


 “Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Rabbmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertqwa”

 “Kami akan menyelamatkan orang-orang yang bertqwa dan membiarkan orang-orang yan zalim di dalam neraka dalam keadaan berlutut”

Orang yang bertakwa akan merdeka dari siksaan api neraka, karena dia dijamin akan  masuk surga Allah.

10.  Surat Al-Baqarah [2] ayat 212

. “Kehidupan dunia dijadikan indah dalam pandangan orang-orang kafir, dan mereka memandang hina orang-orang yang beriman. Padahal orang-orang yang bertaqwa itu lebih mulia daripada mereka di hari kiamat”.

Orang bertakwa akan merdeka dari kehinaan, karena kedudukannya tinggi di sisi Allah Ta’ala di dunia dan di hari kiamat nanti.

Semoga kita semua dapat memperoleh predikat taqwa sehingga kita bisa mendapatkan kemerdekaan yang hakiki.. aamiin..aamiin..aamiin ya robbal alamiiin..

(Gantira, 19 Agustus 2017, Bogor)

Wednesday 2 August 2017

"Menjadi Keluarga Muslim yang Kaffah"

Pada tulisan sebelumnya, saya sudah menjelaskan bahwa sebagai apapun diri kita, pada dasarnya kita bisa menjadi seorang muslim yang Kaffah.

Untuk tulisan saat ini, saya akan lebih menyoroti bagaimana membentuk keluarga muslim yang Kaffah?

Umumnya di dalam keluarga, terdiri dari seorang ayah, ibu dan anak2. Dan dalam keluarga seperti ini kita harus berusaha membentuk keluarga muslim yang kaffah.

Bagaimana seorang suami atau seorang ayah menjadi seorang muslim yang kaffah?

Maka jawabannya adalah dengan mencontoh kehidupan Rasulullah, mengikuti nasihat rasulullah kepada para sahabatnya dalam memperlakukan istri dan anak2 mereka, serta mencontoh kehidupan para sahabat dan para ulama terdahulu dalam membina keluarga.

Sebagai seorang suami atau seorang ayah, untuk menjadi seorang muslim yang kaffah dengan cara  memperlakukan istri dan anak-anaknya dengan kasih sayang, sabar dan menjauhkan diri dari sikap kasar serta menjaga mereka dari ancaman api neraka.

Sebagaimana yang terdapat dalam beberapa firman-Nya:

“Dan bergaullah dengan mereka (para istri) secara patut, kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak." (Qs. An-Nisa' ayat 19)

"Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa ang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan." (QS. At Tahrim 66:6)


Dalam salah satu hadist disebutkan bahwa Rasulullah saw bersabda,
“Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik kepada keluarganya, dan aku adalah orang yang paling baik perlakuannya kepada keluargaku.” (Hr. Ibnu Majah).

Sebagai suami dalam mencapai muslim yang kaffah pun bisa mencontoh apa yang telah dilakukan oleh Umar bin Khatab, dimana beliau pernah didatangi oleh orang Badui yang akan mengadukan sikap cerewet istrinya. Di saat bersamaan, Umar pun baru saja mendapat omelan dari istri dengan suara yang cukup keras.

Umar memberi nasihat kepada si Badui, “ Wahai saudaraku semuslim, aku berusaha menahan diri dari sikap (istriku) itu, karena dia memiliki hak-hak atas istriku. Aku berusaha untuk menahan diri meski sebenarnya aku bisa saja menyakitinya (bersikap keras) dan memarahinya.

Akan tetapi, aku sadar bahwa tidak ada orang yang memuliakan mereka (kaum wanita), selain orang yang mulia dan tidak ada yang merendahkan mereka selain orang yang suka menyakiti. Aku sangat ingin menjadi orang yang mulia meski aku kalah (dari istriku), dan aku tidak ingin menjadi orang yang suka menyakiti meski aku termasuk orang yang menang.”

Umar meneruskan nasihatnya, “ Wahai Saudaraku orang Arab, aku berusaha menahan diri, karena dia (istriku) memiliki hak-hak atas diriku. Dialah yang memasak makanan untukku, membuatkan roti untukku, membuatkan roti untukku, menyusui anak-anakku, dan mencucui baju-bajuku. Sebesar apapun kesabaranku terhadap sikapnya, maka sebanyak itulah pahala yang aku terima.”

Itulah salah satu sikap seorang suami atau ayah yang ingin menjadi musim yang kaffah, bahkan banyak lagi kisah2 lainnya yang dapat diambil dari kehidupan para tabiin serta para ulama shaleh lainnya.

Pada sisi lain, bagaimana seorang istri atau seorang ibu bisa menjadi seorang muslim yang kaffah?

Jawabannya adalah  ikutilah nasihat Rasulullah kepada para wanita yang sudah bersuami, serta ikutilah akhlak para istri Rasulullah, istri para sahabat, serta istri orang2 shaleh sebelumnya dalam memperlakukan suami dan anak2 mereka.

Beberapa akhlak seorang istri atau seorang ibu agar bisa menjadi seorang muslim yang kaffah adalah dengan berbakti pada suaminya, mendorong dan mendukung suaminya dalam taat kepada Allah serta berusaha membentuk anak2 yang shaleh.

Jadilah seorang istri yang bisa menjadi perhiasan yang paling berharga di dunia ini bagi suaminya. Sebagaimana sabda Rasulullah,
"Harta yang paling berharga di dunia adalah wanita yang solehah." (HRMuslim)

Dahulu kala, para wanita kaum salaf memberi wejangan kepada suaminya, “Berhatilah-hatilah engkau dari memperoleh harta yang tidak halal. Kami akan sanggup menahan rasa lapar namun kami tak akan pernah sanggup merasakan siksa api neraka.”

Mereka para wanita sholehah yang ingin menjadi muslim yang kaffah berusaha untuk qanaah atau merasa cukup dengan apa yang mereka terima dan tidak memberatkan apa yang tak sanggup dilakukan oleh suaminya.

Sekarang bagaimana cara seorang anak bisa mencapai seorang muslim yang kaffah?

Jawabannya adalah dengan berbakti kepada orang tua, memperlakukan mereka dengan penuh hormat, sopan santun, penuh sayang, serta berusaha agar orang tua  ridha padanya.

Hal ini sebagaimana diabadikan dalam beberapa firman-Nya.

“Dan Rabb-mu telah memerintahkan agar kamu jangan beribadah melainkan hanya kepada-Nya dan hendaklah berbuat baik kepada ibu-bapak. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berusia lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah engkau mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah engkau membentak keduanya, dan ucapkanlah kepada keduanya perkataan yang baik. Dan rendahkanlah dirimu terhadap keduanya dengan penuh kasih sayang dan ucapkanlah, ‘Ya Rabb-ku, sayangilah keduanya sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku pada waktu kecil.’” [Qs. Al-Israa’ : 23-24]

“Dan Kami wajibkan kepada manusia agar (berbuat) kebaikan kepada kedua orang tuanya. Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang engkau tidak mempunyai ilmu tentang itu, maka janganlah engkau patuhi keduanya. Hanya kepada-Ku tempat kembalimu, dan akan Aku beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.” [Qs. Al-‘Ankabuut (29): 8]

Selain firman-Nya, sebagai seorang anak untuk menjadi seorang muslim yang kaffah dapat juga memperhatikan beberapa sabda Rasulullah:

‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallaahu ‘anhu berkata.
“Aku bertanya kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, ‘Amal apakah yang paling utama?’ Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ‘Shalat pada waktunya (dalam riwayat lain disebutkan shalat di awal waktunya).’ Aku bertanya lagi, ‘Kemudian apa?’ Nabi menjawab: ‘Berbakti kepada kedua orang tua.’ Aku bertanya lagi: ‘Kemudian apa?’ Nabi menjawab, ‘Jihad di jalan Allah’ (Hr. Bukhari)

“Darii ‘Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash radhiyallaahu ‘anhuma, bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Ridha Allah bergantung kepada keridhaan orang tua dan murka Allah bergantung kepada kemurkaan orang tua” (Hr. Bukhari)

Disamping itu, sebagai seorang anak dalam mencapai muslim yang kaffah, kita juga bisa mencontoh para ulama shaleh terdahulu dalam memperlakukan orang tua mereka masing2.

Jadi kita dalam keluarga pun bisa menjadi seorang muslim yang kaffah sesuai peran kita masing2, baik kita sebagai seorang suami, ayah, istri, ibu atau anak2.

Semoga kita semua dianugerahi oleh-Nya akhlak yang mulia dan memiliki keluarga muslim yang Kaffah sehingga dalam rumah kita terbentuk "Baiti Jannati, rumahku adalah surgaku". .aamiin..aamiin..aamiin..yra..

(Gantira, 2 Agustus 2017, Bogor)