Wednesday 7 October 2015

"Keyakinan VS Angan-angan"


Antara keyakinan dan angan-angan  itu seperti sama, namun sebenarnya jauh berbeda.

Seperti sama karena sama-sama mengharapkan apa yang belum terjadi. Namun berbeda karena  dasar yang dipakainya berbeda.

Keyakinan  dilandasi oleh ilmu, sedangkan angan-angan dilandasi oleh kebodohan.

Keyakinan disertai dengan sikap optimis, sedangkan angan-angan disertai oleh sikap putus asa.

Keyakinan diawali oleh kerja keras, sedangkan angan-angan di awali oleh kemalasan.

Keyakinan diakhiri dengan syukur dan sabar, sedangkan angan-angan diakhiri dengan sombong dan keluhan.

Keyakinan ditemani oleh Husnuzhan, sedangkan angan-angan ditemani oleh suuzhan.

Keyakinan melalui proses tawakal, sedangkan angan-angan melalui proses takabur.

Keyakinan tumbuh berkembang seiring dengan cita2, sedangkan angan2 tumbuh berkembang seiring dengan mimpi di siang bolong.

Keyakinan sesuai dengan apa yang benar2 kita butuhkan yang jelas awal dan ujungnya, sedangkan angan2 lebih cenderung pada keinginan yang tiada ujung dan pangkalnya.

Keyakinan datang dari pengalaman kita, dari apa yang kita baca, apa yang kita dengar, dan apa yang kita rasakan.  Sedangkan angan2 datang dari lamunan kita, dari apa yang kita khayalkan, yang kita impikan dan apa yang kita halusinasikan.

Keyakinan hidup di dalam batin kita, menentukan sikap dan tindakan kita. Sedangkan angan2 hidup di dalam bayangan kita, mengombang-ambing  sikap dan tindakan kita.

Pada akhirnya, kesuksesan itu selalu menyertai orang yang yakin, sedangkan kegagalan itu selalu menyertai orang yang berangan-angan.

(Gantira, 7 Oktober 2015, Bogor)

Menyadari Akan Levelnya Masing-Masing

Kita harus menyadari bahwa setiap orang itu memiliki level yang berbeda2.

Ada orang yang baru balita, tingkat  Tk, SD, SMP, SMA, S1, S2, S3 bahkan ada juga yang tidak melalui tingkatan itu tapi kapasitasnya bagai seorang professor.

Umumnya orang akan lebih memahami pemaparan dari orang yang levelnya setingkat di atas dirinya, serta sangat sulit memahami penjelasan dari orang yang levelnya beberapa tingkat jauh dari dirinya.

Sebagaimana seorang anak balita akan lebih mudah bercanda secara natural  dengan anak tk daripada anak S3.  Begitu juga anak S3 lebih nyambung berdiskusi dengan anak S2 daripada dengan balita.

Namun bila setiap orang menyadari levelnya masing2 serta memiliki visi yang sama, maka orang yang level S3 akan menurunkan ilmunya pada anak S2 sesuai yang dipahami S2. Setelah itu anak S2 akan menurunkan ilmunya pada anak S1 sesuai yang bisa dipahami anak S1, serta terus berlanjut sampai tingkatan paling bawah yaitu anak tk mengajari anak balita yang bisa dipahami oleh anak balita.

Tidaklah bijak seorang anak S3 mendidik anak SD disamakan dengan anak S2. Begitu juga tidaklah tepat anak SD mengata-mengatai anak S3 dengan perkataan bodoh dan sesat hanya karena belum memahami apa yang disampaikan anak S3.

Begitu juga dalam memahami agama dan menyebarkannya, kita harus menyadari bahwa setiap orang itu memiliki tingkatan pemahaman yang berbeda-beda pula. Kita harus menyadari akan level kita berada dimana. Sehingga kita tidak langsung mencap sesat pada orang yang levelnya jauh di atas kita sebelum ada kesepakatan bersama dari mayoritas orang yang selevel dengannya. Sebaliknya juga kita jangan menghakimi dengan keras dan mudahnya pada orang yang levelnya jauh di bawah kita, karena untuk memahami kebenaran pun ada tahapan2 yang mesti dilaluinya.

Jadi perlakukanlah dengan penuh pengertian dan kasih sayang pada orang yang levelnya jauh di bawah kita. Serta hormatlah dan berhusnuzhanlah pada orang yang kita tahu levelnya jauh di atas kita.

(Gantira, 8 Oktober 2015, Bogor)