Friday 20 March 2020

"Perlunya Perubahan Kebijakan dalam Rumah Tangga"


Melihat fenomena saat ini:

- Pasien yang terkena corona terus meningkat, berdasarkan data resmi dari https://linktr.ee/covid19check tanggal 21 Maret 2020 pukul 3.17 dimana jumlah  pasen corona dalam perawata  320 orang, sembuh 17 orang, meninggal 32 orang

- Masih banyak masyarakat yang meremehkan wabah ini, sebagai contoh orang dalam pemantauan (ODP) corona di solo yang ternyata status akhirnya berubah menjadi suspek Corona, sebelumnya masih menganggap bahwa dirinya sehat2 saja sehingga  ikut membantu persiapan pernikahan tetangganya dan terus bersosialisasi ke pasar2.

- Saat shalat berjamaah di mesjid rumah sekitar pun, masih ada jamaah yang mengajak bersalaman, tanpa khawatir  dengan wabah yang sedang terjadi.

- Banyaknya postingan dari tenaga medis yang menuliskan poster

" I Stay at Work for You

You Stay at Home for Us"

Saya berfikir bahwa sudah saatnya ada perubahan kebijakan dalam rumah tangga ini, sehingga saya sebagai pemimpin didalamnya perlu mengintruksikan pada seluruh anggota keluarga untuk mengikuti fatwa dari MUI 14/20 pada point  3a:

".....ia boleh meninggalkan salat Jumat dan menggantikannya dengan shalat zuhur di tempat kediaman, serta meninggalkan jamaah shalat lima waktu/rawatib, Tarawih, dan Ied di masjid atau tempat umum lainnya.."

Semoga perubahan kebijakan ini bisa dipatuhi dan dipahami oleh anggota keluarga yang masih  anak2 yang mungkin akan terus bertanya2.

Dan semoga wabah ini pun cepat berlalu dari negeri ini, sehingga mereka bisa kembali menikmati aktifitas shalat berjamaah di mesjid yang sudah membuat nyaman hati mereka.. Aamiin..aamiin  aamiin ya robbal alamiin..

(Citayam-Bogor, Gantira,  21 Maret 2020)

Thursday 19 March 2020

"Akhir Sebuah Dilema"

Semalam, saya beri intruksi pada anak2 bahwa mulai sekarang  untuk sementara shalat fardhu di rumah saja mengikuti anjuran dari Fatwa MUI  14/20.

Putriku yang paling kecil, yang masih status paud, langsung angkat bicara, "Tapi pah, cowokkan shalatnya harus di mesjid, gak boleh di rumah?"

Putraku yang nomber dua, yang statusnya kelas 6 SD, langsung protes, "Yaaaa, nanti aku dapatnya cuma 1 pahala donk. Gak dapat 36 kali lipat?"

Putriku yang nomber satu, yang baru kelas 1 smp, langsung memberi nasehat, "Pah, takut itu hanya kepada Allah bukan pada Corona?"

Ibunya mereka pun langsung merespon kegalauan mereka, "Bahwa selain ibadah, kita harus taat ulama dan ulil amri kita. Allah akan tetap membalas  kita untuk taat pada yang Allah perintahkan, salah satunya taat pada mereka. Pada jaman Rasulullah pun, pada kondisi hujan lebat kita diijinkan shalat di rumah apalagi kalau wabah penyakit menyerang suatu daerah."

Mendengar jawaban dari belahan jiwaku, putra putriku manut tapi tetap nampak kurang puas atas keputusanku itu.

Semalaman, saya terus gelisah dalam kedilemaan kuputusan tersebut. Lalu coba kuingat2 lagi isi fatwa MUI 14/20. Saya baru ingat ternyata ada satu pernyataan pada point 3b, yang berisi:

"Dalam hal ia berada di suatu kawasan yang potensi penularannya rendah berdasarkan ketetapan pihak yang berwenang, maka ia tetap wajib menjalankan kewajiban ibadah sebagaimana biasa dan wajib menjaga diri agar tidak terpapar virus corona, seperti tidak kontak fisik langsung (bersalaman, berpelukan, cium tangan), membawa sajadah sendiri, dan sering membasuh tangan dengan sabun."

Setelah ingat itu, akhirnya saya bisa tenang. Ketika mereka bangun, lalu saya bilang sama putraku bahwa keputusan papa berubah. Boleh shalat fardhu di mesjid, dengan syarat bawa sajadah sendiri, setelah shalat langsung pulang, untuk sementara jangan salam2an dulu. Sebelum masuk rumah, cuci tangan dulu pakai sabun.

Mendengar perubahan keputusanku, putraku langsung senang, lalu mengambil sajadah dan berjalan cepat menuju mesjid. Dalam perjalanan, saya panggil dia. Dan kukatakan bahwa saat keluar rumah baca dulu doa "'Bismillahi tawakkaltu 'alallah, laa hawla wa laa quwwata illa billah'..

Alhamdulillah, akhirnya kedilemaankupun telah terurai.

(Citayam-Bogor, Gantira,  19 Maret 2020)