Wednesday 2 August 2017

"Menjadi Keluarga Muslim yang Kaffah"

Pada tulisan sebelumnya, saya sudah menjelaskan bahwa sebagai apapun diri kita, pada dasarnya kita bisa menjadi seorang muslim yang Kaffah.

Untuk tulisan saat ini, saya akan lebih menyoroti bagaimana membentuk keluarga muslim yang Kaffah?

Umumnya di dalam keluarga, terdiri dari seorang ayah, ibu dan anak2. Dan dalam keluarga seperti ini kita harus berusaha membentuk keluarga muslim yang kaffah.

Bagaimana seorang suami atau seorang ayah menjadi seorang muslim yang kaffah?

Maka jawabannya adalah dengan mencontoh kehidupan Rasulullah, mengikuti nasihat rasulullah kepada para sahabatnya dalam memperlakukan istri dan anak2 mereka, serta mencontoh kehidupan para sahabat dan para ulama terdahulu dalam membina keluarga.

Sebagai seorang suami atau seorang ayah, untuk menjadi seorang muslim yang kaffah dengan cara  memperlakukan istri dan anak-anaknya dengan kasih sayang, sabar dan menjauhkan diri dari sikap kasar serta menjaga mereka dari ancaman api neraka.

Sebagaimana yang terdapat dalam beberapa firman-Nya:

“Dan bergaullah dengan mereka (para istri) secara patut, kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak." (Qs. An-Nisa' ayat 19)

"Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa ang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan." (QS. At Tahrim 66:6)


Dalam salah satu hadist disebutkan bahwa Rasulullah saw bersabda,
“Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik kepada keluarganya, dan aku adalah orang yang paling baik perlakuannya kepada keluargaku.” (Hr. Ibnu Majah).

Sebagai suami dalam mencapai muslim yang kaffah pun bisa mencontoh apa yang telah dilakukan oleh Umar bin Khatab, dimana beliau pernah didatangi oleh orang Badui yang akan mengadukan sikap cerewet istrinya. Di saat bersamaan, Umar pun baru saja mendapat omelan dari istri dengan suara yang cukup keras.

Umar memberi nasihat kepada si Badui, “ Wahai saudaraku semuslim, aku berusaha menahan diri dari sikap (istriku) itu, karena dia memiliki hak-hak atas istriku. Aku berusaha untuk menahan diri meski sebenarnya aku bisa saja menyakitinya (bersikap keras) dan memarahinya.

Akan tetapi, aku sadar bahwa tidak ada orang yang memuliakan mereka (kaum wanita), selain orang yang mulia dan tidak ada yang merendahkan mereka selain orang yang suka menyakiti. Aku sangat ingin menjadi orang yang mulia meski aku kalah (dari istriku), dan aku tidak ingin menjadi orang yang suka menyakiti meski aku termasuk orang yang menang.”

Umar meneruskan nasihatnya, “ Wahai Saudaraku orang Arab, aku berusaha menahan diri, karena dia (istriku) memiliki hak-hak atas diriku. Dialah yang memasak makanan untukku, membuatkan roti untukku, membuatkan roti untukku, menyusui anak-anakku, dan mencucui baju-bajuku. Sebesar apapun kesabaranku terhadap sikapnya, maka sebanyak itulah pahala yang aku terima.”

Itulah salah satu sikap seorang suami atau ayah yang ingin menjadi musim yang kaffah, bahkan banyak lagi kisah2 lainnya yang dapat diambil dari kehidupan para tabiin serta para ulama shaleh lainnya.

Pada sisi lain, bagaimana seorang istri atau seorang ibu bisa menjadi seorang muslim yang kaffah?

Jawabannya adalah  ikutilah nasihat Rasulullah kepada para wanita yang sudah bersuami, serta ikutilah akhlak para istri Rasulullah, istri para sahabat, serta istri orang2 shaleh sebelumnya dalam memperlakukan suami dan anak2 mereka.

Beberapa akhlak seorang istri atau seorang ibu agar bisa menjadi seorang muslim yang kaffah adalah dengan berbakti pada suaminya, mendorong dan mendukung suaminya dalam taat kepada Allah serta berusaha membentuk anak2 yang shaleh.

Jadilah seorang istri yang bisa menjadi perhiasan yang paling berharga di dunia ini bagi suaminya. Sebagaimana sabda Rasulullah,
"Harta yang paling berharga di dunia adalah wanita yang solehah." (HRMuslim)

Dahulu kala, para wanita kaum salaf memberi wejangan kepada suaminya, “Berhatilah-hatilah engkau dari memperoleh harta yang tidak halal. Kami akan sanggup menahan rasa lapar namun kami tak akan pernah sanggup merasakan siksa api neraka.”

Mereka para wanita sholehah yang ingin menjadi muslim yang kaffah berusaha untuk qanaah atau merasa cukup dengan apa yang mereka terima dan tidak memberatkan apa yang tak sanggup dilakukan oleh suaminya.

Sekarang bagaimana cara seorang anak bisa mencapai seorang muslim yang kaffah?

Jawabannya adalah dengan berbakti kepada orang tua, memperlakukan mereka dengan penuh hormat, sopan santun, penuh sayang, serta berusaha agar orang tua  ridha padanya.

Hal ini sebagaimana diabadikan dalam beberapa firman-Nya.

“Dan Rabb-mu telah memerintahkan agar kamu jangan beribadah melainkan hanya kepada-Nya dan hendaklah berbuat baik kepada ibu-bapak. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berusia lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah engkau mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah engkau membentak keduanya, dan ucapkanlah kepada keduanya perkataan yang baik. Dan rendahkanlah dirimu terhadap keduanya dengan penuh kasih sayang dan ucapkanlah, ‘Ya Rabb-ku, sayangilah keduanya sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku pada waktu kecil.’” [Qs. Al-Israa’ : 23-24]

“Dan Kami wajibkan kepada manusia agar (berbuat) kebaikan kepada kedua orang tuanya. Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang engkau tidak mempunyai ilmu tentang itu, maka janganlah engkau patuhi keduanya. Hanya kepada-Ku tempat kembalimu, dan akan Aku beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.” [Qs. Al-‘Ankabuut (29): 8]

Selain firman-Nya, sebagai seorang anak untuk menjadi seorang muslim yang kaffah dapat juga memperhatikan beberapa sabda Rasulullah:

‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallaahu ‘anhu berkata.
“Aku bertanya kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, ‘Amal apakah yang paling utama?’ Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ‘Shalat pada waktunya (dalam riwayat lain disebutkan shalat di awal waktunya).’ Aku bertanya lagi, ‘Kemudian apa?’ Nabi menjawab: ‘Berbakti kepada kedua orang tua.’ Aku bertanya lagi: ‘Kemudian apa?’ Nabi menjawab, ‘Jihad di jalan Allah’ (Hr. Bukhari)

“Darii ‘Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash radhiyallaahu ‘anhuma, bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Ridha Allah bergantung kepada keridhaan orang tua dan murka Allah bergantung kepada kemurkaan orang tua” (Hr. Bukhari)

Disamping itu, sebagai seorang anak dalam mencapai muslim yang kaffah, kita juga bisa mencontoh para ulama shaleh terdahulu dalam memperlakukan orang tua mereka masing2.

Jadi kita dalam keluarga pun bisa menjadi seorang muslim yang kaffah sesuai peran kita masing2, baik kita sebagai seorang suami, ayah, istri, ibu atau anak2.

Semoga kita semua dianugerahi oleh-Nya akhlak yang mulia dan memiliki keluarga muslim yang Kaffah sehingga dalam rumah kita terbentuk "Baiti Jannati, rumahku adalah surgaku". .aamiin..aamiin..aamiin..yra..

(Gantira, 2 Agustus 2017, Bogor)