Sunday 29 November 2015

3. Al - Quddus

A. Pendahuluan

Al-Quddus artinya Yang Maha Suci, yaitu Yang Suci atau terpelihara dari segala aib, keburukan, kekurangan dan dari semua yang tidak layak.

Allah adalah Dzat Yang Maha Suci. Ini dapatlah dipahami bahwa Dia memiliki Kesucian yang mutlak. Suci karuniaNya. Suci pemeliharaanNya. Suci keagunganNya, suci keputusanNya, suci takdirNya, suci segala yang menjadi sifatNya. KesucianNya tidak dinodai oleh apa pun. Oleh karena itu, sebagai hambaNya yang beriman, kita hendaknya bertasbih kepadaNya.

Sebagaimana salah satu ucapan para Malaikat yang ada dalam Qs. Al-Baqarah ayat 30:

وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَك

َ "... padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan menyucikan Engkau.."

Pendapat jumhur ulama tafsir menjelaskan  para malaikat berkata bahwa mereka senantiasa mensucikan-Nya dan mengkuduskan-Nya dari semua sifat yang tidak sesuai dengan-Nya.

Sesungguhnya tasbih kepada Allah, menyucikan, dan mengagungkan-Nya wajib dilakukan sesuai dengan dalil2 dari Al-qur'an dan As-sunnah serta sesuai dengan pemahaman kaum salaf umat ini. Sama sekali tidak boleh dibangun di atas dasar hawa nafsu semata, praduga2 rusak atau analogi2 akal yang dangkal.

Barangsiapa  yang di dalam bertasbih dan menyucikan Allah bersandar dengan hawa nafsu tanpa petunjuk dari Allah maka sesungguhnya dia telah tergelincir dan terjerumus ke dalam aneka ragam kebatilan dan macam2 kesesatan. Barangsiapa yang Allah selamatkan dirinya dari jalan tersebut dalam bertasbih kepada-Nya, maka sungguh dia telah mendapat petunjuk kepada jalan yang lurus.

Sebagaimana firman-Nya dalam surat Ash-Shaffat ayat 180-182:


سُبْحَانَ رَبِّكَ رَبِّ الْعِزَّةِ عَمَّا يَصِفُونَ (180) وَسَلَامٌ عَلَى الْمُرْسَلِينَ (181) وَالْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ (182)

"Maha Suci Rabbmu Yang mempunyai keperkasaan dari apa yang mereka katakan. Dan kesejahteraan dilimpahkan atas para rasul. Dan segala puji bagi Allah Rabb seru sekalian alam."

B. Hal yang Disucikan dari Allah

Segala hal yang disucikan dari Allah Tabaraka wa Ta'ala ada dua, yaitu:

1) Allah Mahasuci dari segala hal yang dapat mengurangi sifat2 kesempurnaan-Nya

Sebagaimana disebutkan dalam ayat kursi:

اللَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ لَا تَأْخُذُهُ سِنَةٌ وَلَا نَوْمٌ لَهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ مَنْ ذَا الَّذِي يَشْفَعُ عِنْدَهُ إِلَّا بِإِذْنِهِ يَعْلَمُ مَا بَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَمَا خَلْفَهُمْ وَلَا يُحِيطُونَ بِشَيْءٍ مِنْ عِلْمِهِ إِلَّا بِمَا شَاءَ وَسِعَ كُرْسِيُّهُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ وَلَا يَئُودُهُ حِفْظُهُمَا وَهُوَ الْعَلِيُّ الْعَظِيمُ

“Allah, tidak ada Rabb (yang berhak disembah) melainkan Dia Yang Hidup kekal lagi terus menerus mengurus (makhluk-Nya); tidak mengantuk dan tidak tidur. Kepunyaan-Nya apa yang di langit dan di bumi. Tiada yang dapat memberi syafa’at di sisi Allah tanpa izin-Nya? Allah mengetahui apa-apa yang di hadapan mereka dan di belakang mereka, dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya. Kursi Allah meliputi langit dan bumi. Dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya, dan Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.” (QS. Al Baqarah: 255).


Karena milik-Nya semata puncak dari segala kesempurnaan. Allah bersifat dengan kesempurnaan ilmu dan kekuasaan, Mahasuci dari segala yang dapat mengurangi kesempurnaan-Nya seperti lupa dan lalai, dan tidak ada yang tersembunyi daripada-Nya sebesar dzarrah pun yang ada di langit dan yang ada di bumi, baik yang lebih kecil dari itu ataupun yang lebih besar, Suci dari kelemahan, lelah, letih dan capek.

Dia bersifat dengan kesempurnaan hidup dan terus menerus mengurus makhluk-Nya, Suci dari lawannya yang berupa kematian, kantuk dan tidur.

Dia tersifati dengan keadilan dan kekayaan sempurna, Suci dari kezhaliman atau butuh kepada makhluk-Nya dari berbagai sisi. Dia tersifati dengan kesempurnaan hikmah dan rahmat, Suci dari kebalikannya yang berupa bermain-main dan bodoh, atau Dia berbuat ataupun mensyariatkan apa yang dapat mengurangi hikmah dan rahmat.

Demikian seterusnya seluruh sifat2-Nya suci dari segala hal yang dapat menafikannya atau berlawanan dengannya.

2)  Allah Mahasuci dari diserupai oleh salah satu makhluk-Nya atau memiliki tandingan dari salah satu sisi

Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman:

قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ (1) اللَّهُ الصَّمَدُ (2) لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ (3) وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ (4)
“Katakanlah: “Dia-lah Allah, Yang Maha Esa. Allah adalah Rabb yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan, dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia” (QS. Al Ikhlas: 1-4).


Seluruh makhluk itu sesempurna dan semulia apa pun ia, atau mencapai puncak dari keagungan dan kesempurnaan yang sesuai dengannya, maka sedikit pun ia tidak mendekati, menyerupai atau setara Allah Maha Pencipta.

Bahkan seluruh sifat2 makhluk itu begitu kecil apabila dibandingkan dengan sifat2 Penciptanya.

Bahkan semua apa yang ada di dalamnya yang berupa makna2, sifat2 dan kesempurnaan, yang memberikan semua itu kepadanya adalah Allah.

Dia-lah yang telah memberikan pengajaran dan ilham kepadanya. Dia pula yang telah memberikan pengajaran dan ilham kepadanya. Dia pula yang telah membuatnya berkembang secara lahir dan batin, dan menyempurnakannya.

Allah Mahasuci dari segala hal yang dapat menafikan sifat2 kemuliaan, keagungan, dan kesempurnaan. Dia Mahasuci dari lawan, tandingan, sekutu, dan segala permisalan.

Sepatutnya dijelaskan bahwa mensucikan Allah hanya dapat diperoleh dengan melepas dan menyucikan Allah dari segala keburukan dan aib, bersamaan dengan itu ditetapkan sifat2 terpuji dan sifat2 kesempurnaan Allah Ta'ala sesuai dengan apa yang layak bagi-Nya.

C. Beberapa Keutamaan Bertasbih (Mensucikan Allah)

Beberapa keutamaan dalam bertasbih, diantaranya:

1) Tasbih adalah ketaatan yang agung dan ibadah yang mulia

Sebagaimana dalam salah satu hadist:

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ada dua buah kalimat yang ringan di lisan namun berat di dalam timbangan, dan keduanya dicintai oleh ar-Rahman, yaitu ‘Subhanallahi wabihamdihi, subhanallahil ‘azhim’ (Mahasuci Allah dengan segala pujian kepada-Nya, Mahasuci Allah yang Mahaagung).” (HR. Bukhari [7573] dan Muslim [2694])

2) Seluruh makhluk bertasbih kepada-Nya

Sebagaimana firman Allah Ta'ala dalam Surat Al-Isra' ayat 44:


 تُسَبِّحُ لَهُ السَّمَاوَاتُ السَّبْعُ وَالْأَرْضُ وَمَنْ فِيهِنَّ ۚوَإِنْ مِنْ شَيْءٍ إِلَّا يُسَبِّحُ بِحَمْدِهِ وَلَٰكِنْ لَا تَفْقَهُونَ تَسْبِيحَهُمْ ۗإِنَّهُ كَانَ حَلِيمًا غَفُورًا
"Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah. Dan tak ada suatupun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penyantun lagi Maha Pengampun."

3) Bertasbih merupakan shalatnya seluruh makhluk dan dengannya seluruh makhluk diberi rezeki

Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam bersabda, “Sesungguhnya Nuh as. ketika menjelang wafatnya, ia memanggil kedua anaknya dan berkata, “Sesungguhnya akan kuwasiatkan kepada kalian, Kuperintahkan kalian dua perintah dan aku melarang kalian dari dua larangan. Kularang kalian dari syirik dan takabur. dan kuperintahkan kalian dengan Laa ilaaha illallah. Sesungguhnya jika langit dan bumi diletakkan dalam satu daun timbangan dan daun timbangan yang lainnya diletakkan kalimat Laa ilaha illallah, maka kalimat Laa ilaaha illallah tersebut akan lebih berat. Seandainya segala isi bumi dan langit ini dijadikan satu lingkaran lalu diletakkan Laa ilaaha illallah di atasnya, niscaya akan hancurlah segalanya.” Dan kuperintahkan kepadamu dengan Subhanallahi wa bihamdihi. Sesungguhnya keduanya adalah shalat seluruh makhluk hidup, dan dengan keduanya pulalah segalanya diberi rezeki.” (HR. Hakim).


D. Penutup

Semoga Allah menjadikan kita ke dalam golongan orang2 yang bertasbih dengan memuji-Nya, yang beriman kepada nama2 dan sifat2-Nya, dan yang mewujudkan tauhid-Nya serta mengagungkan-Nya, karena sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengabulkan permohonan..Aamiin..3x

Sumber:
1. Asma-ul Husna, hasil buah karya Ibnu Qayyim Al-Jauziyah
2. Fikih Asma-ul Husna, yang ditulis oleh Syaikh Abdurrazzaq bin Abdul Muhsin Al-Abbad Al-Badr
3. Berbagai sumber dari internet

(Gantira, 30 November 2015)