Friday 20 November 2015

2. Al - Malik

Salah satu nama Allah adalah Al-Malik, yang artinya Yang Maha Merajai/Memerintah.

Dilihat dari segi manapun makna "kerajaan" sangatlah sesuai dengan sifat Allah. Dan sifat ini mengharuskan adanya sifat yang sempurna pada diri yang disifatinya.

Dia sebagai raja yang hakiki pasti memiliki kehidupan, kekuasaan dan kemauan. Dia juga memiliki pendengaran dan penglihatan, kemampuan berbicara dan kemampuan untuk berbuat sesuai kehendak-Nya sendiri.

Dia mampu memerintah dan melarang, mampu menyuruh, memberi pahala dan memberi hukuman, mampu memberi sesuatu dan menahannya, mampu merendahkan dan meninggikan, mampu memuliakan dan menghinakan, mampu memberi nikmat dan membalas.

Dia mampu mengutus para utusan dan pesuruh-Nya ke berbagai negeri, mampu mengutarakan perintah dan larangan kepada para hamba2-Nya. Semua perkara berasal dari Allah, dan kesempurnaan kerajaan-Nya sama sekali tidak tergantung kepada yang lain. Sebab yang lain seluruhnya bersandar kepada Allah. Wujud mereka tergantung pada kehendak dan penciptaan-Nya. Sehingga jelas bahwa kesempurnaan kerajaan-Nya adalah sesuatu yang sangat terpuji. Karena memang kerajaan dan pujian hanyalah milik-Nya.

Apa yang diperintahkan-Nya akan membawa kepada kecintaan-Nya dan apa yang dilarang-Nya akan menyeret kepada kemurkaan-Nya.

Raja yang sebenarnya adalah raja yang mampu memerintah dan mampu melarang, sehingga Dia bisa leluasa bertindak kepada makhluk-Nya sesuai dengan apa yang Dia perintahkan dan apa yang Dia larang.

Maka barangsiapa yang menyangka bahwa Allah menciptakan makhluk-Nya dengan sia-sia dengan tidak menyuruh dan melarang mereka, maka berarti ia telah melecehkan kerajaan-Nya, dan tidak mengagungkan-Nya dengan pengagungan yang semestinya.

Sebagaimana Allah berfirman,

وَمَا قَدَرُوا اللَّهَ حَقَّ قَدْرِهِ إِذْ قَالُوا مَا أَنْزَلَ اللَّهُ عَلَى بَشَرٍ مِنْ شَيْءٍ

Dan mereka tidak menghormati Allah dengan penghormatan yang semestinya di kala mereka berkata, "Allah tidak menurunkan sesuatu pun kepada manusia.” ...(qs. Al an'aam:91)

Maka barangsiapa yang mengingkari syariat, perintah dan larangan Allah serta memposisikan manusia pada posisi binatang, yaitu tidak diperintah dan dilarang, maka berarti ia telah melecehkan kerajaan Allah dan tidak mengagungkan-Nya dengan pengagungan yang semestinya. Dan dia pun telah mengingkari wujud Allah sebagai Tuhan yang mengatur semua makhluk yang memiliki kesempurnaan Dzat, sifat dan nama2-Nya.

Dalam ayat lain difirmankan:

أَيَحْسَبُ الْإِنْسَانُ أَنْ يُتْرَكَ سُدًى
 أَلَمْ يَكُ نُطْفَةً مِنْ مَنِيٍّ يُمْنَىٰ
 ثُمَّ كَانَ عَلَقَةً فَخَلَقَ فَسَوَّىٰ

"Apakah manusia mengira, bahwa ia akan dibiarkan begitu saja (tanpa pertanggung jawaban)?
Bukankah dia dahulu setetes mani yang ditumpahkan (ke dalam rahim), kemudian mani itu menjadi segumpal darah, lalu Allah menciptakannya, dan menyempurnakannya," (qs. Al-qashash:36-38)

Allah tidak membiarkan nuftah begitu saja, tetapi nuftah itu diubahnya dan dibentuk hingga menjadi lebih baik dari sebelumnya, yakni menjadi 'alaqah (gumpalan darah), kemudian membentuknya hingga menjadi makhluk yang lebih sempurna dari itu. Demikianlah Allah memproses penciptaan dengan penuh hikmah hingga akhirnya terciptalah manusia yang sempurna. Lalu bagaimana mungkin, Ia akan membiarkannya begitu saja setelah menjadi manusia yang sempurna.

Allah telah membantah keras dan mengingkari mereka yang beranggapan bahwa Allah menciptakan makhluk tanpa tujuan dan tanpa hikmah tertentu. Sebagaimana firman Allah,


أَفَحَسِبْتُمْ أَنَّما خَلَقْناكُمْ عَبَثاً وَ أَنَّكُمْ إِلَيْنا لا تُرْجَعُونَ
"Apakah kamu menyangka bahwa itu semua Kami jadikan dengan sia-sia, dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami ?" (Qs. Al-Mukminun: 115)


Manusia dalam menyikapi sifat Allah, Al-Malik, ini terbagi pada tiga golongan, yaitu:

1. Pertama
Sikap para Rasul dan pengikutnya, menyatakan secara serentak bahwa kerajaan dan pujian adalah milik Allah semata. Dan inilah mazhab orang2 yang meyakini qadar dan hikmah serta hakikat nama2 dan sifat Allah. Mereka memaknai sifat Al-Malik sebagaimana mestinya.

2. Pendapat kedua
Orang2 yang mengakui kerajaan Allah. Namun mereka menafikan hakikat kemuliaan-Nya/ kemahaterpujian-Nya, mereka adalah kaum Jabariyyah, mazhab yang mengatakan bahwa seluruh pekerjaan manusia adalah dari Allah dan manusia hanyalah sebagai wayang yang tidak memiliki kekuatan sedikit pun, yang menafikan segala macam kebijaksanaan dan segala macam ikhtiar. Mereka menyatakan bahwa boleh bagi Allah untuk melakukan segala yang mungkin, dan mereka  tidak menyucikan Allah dari keburukan. Bahkan semua yang mungkin itu tidak membuat diri-Nya buruk.

Menurut pandangan mereka, boleh saja Allah menyiksa para malaikat-Nya, para Rasul-Nya dan orang2 yang taat. Allah juga boleh memuliakan Iblis dan tentara2nya serta menempatkan mereka pada posisi di atas wali-Nya di dalam surga nanti. Itulah pandangan para kaum Jabariyyah yang sesat.

3. Golongan ketiga
Mereka menetapkan sebagian pujian pada Allah, tetapi menafikan kesempurnaan kekuasaan-Nya. Mereka adalah kelompok Qodariyyah. Mereka menetapkan adanya hikmah pada Allah, tapi dengan alasan hikmah tersebut, mereka menafikan kesempurnaan kekuasaan-Nya.  Pandangan mereka, Allah tidak memiliki sifat ibadah, kalam, sama, bashar. Allah juga, di mata mereka, tidak memiliki rasa cinta dan benci. Allah telah mereka tempatkan sebagai Dzat yang tidak memiliki hakikat kekuasaan dan hakikat pujian.

Mereka memandang bahwa semua hikmah itu terletak pada makhluk bukan pada Allah. Pandangan dari golongan ketiga ini juga termasuk golongan pandangan yang sesat.


Dari penjelasan2 di atas, dapat diringkas bahwa Raja (Al-Malik) adalah yang mampu memerintah dan melarang, memuliakan dan menghinakan, memberi rizqi dan menahannya, mengangkat dan merendahkan. Kita sebagai makhluk-Nya sudah sepatutnya kita taat pada semua aturan-Nya.

Penutup

Kata penutup pada   materi ini, saya melampirkan  sebuah doa yang dibaca oleh Nabi Ibrahim ketika selesai membangun Kabah bersama anaknya Ismail:



رَبَّنَا تََقبَّلْ مِنَّا ِإنَّكَ َأنتَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ رَبَّنَا وَاجْعَْلنَا مُسْلِمَيْ ِ ن َلكَ وَمِن ُذرِّيَّتِنَا أُمًَّة مُّسْلِمًَة لَّكَ
وََأ ِ رنَا مَنَاسِ َ كنَا وَتُبْ عََليْنَآ ِإنَّكَ َأنتَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ

Robbanaa taqqobal minnaa innaka antas sami’ul ‘aliim. Robbannaa waj’alna muslimaini laka wa min dzuriyyatinaa umatan muslimatan laka wa arinaa manasikanaa wa tub ‘alainaa innaka antat tawwabur rohiim

“Ya Allah, terimalah bakti kami. Sungguh Engkau Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. Ya Allah, jadikan kami berdua orang yang taat pada‐Mu, dan jadikanlah keturunan kami umat yang patuh pada‐Mu. Tunjukkan tata cara dan tempat ibadah haji kami, serta terimalah taubat kami. Sungguh Kau Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” (QS. Al‐Baqarah: 127‐128).

Aamiin, Aamiin, Aamiin ya
Alloh ya Rabbal’alamin …

Sumber:
1. Asma-ul Husna, hasil buah karya Ibnu Qayyim Al-Jauziyah
2. Fikih Asma-ul Husna, yang ditulis oleh Syaikh Abdurrazzaq bin Abdul Muhsin Al-Abbad Al-Badr
3. Berbagai sumber dari internet

(Gantira, 21 November 2015, Bandung)