Wednesday 19 July 2017

"Membentuk Kepribadian Muslim yang Kaffah"

Seperti apakah muslim yang kaffah itu?

Mungkin banyak orang yang menganggap bahwa arti kaffah itu sempurna, sebagaimana kehidupan Rasulullah. Baik dari segi shalatnya, puasanya, shadaqahnya, murah hatinya, perjuangannya, dakwahnya, memimpinnya, serta berbagai kehidupan lainnya.

Dengan anggapan dasar seperti itu, maka banyak orang yang sudah putus asa duluan sebelum memulai. Dan akhirnya tidak mau memperbaiki diri untuk menjadi lebih baik lagi.

Padahal arti kaffah itu sendiri adalah menjalankan islam secara sempurna sesuai keadaan diri kita.

Dan dalam kehidupan Rasulullah, beliau pernah mengalami berbagai kehidupan macam kehidupan yang dialami oleh setiap manusia. Sehingga kita bisa mencontoh Rasulullah sesuai kehidupan yang sedang kita alami.

Bila saat ini kita sedang kaya maka Rasulullah pun pernah kaya contohlah bagaimana perilaku beliau saat kaya, begitu juga saat kita sedang miskin maka Rasulullah pun pernah miskin dan kita pun dapat mencontoh beliau bagaimana mensikapi kemiskinan yang dialaminya.

Begitu juga pada kondisi lainnya, di saat kita pernah sakit, sehat, menjadi pemimpin, memiliki anak, memiliki cucu, memiliki istri, bertetangga, jadi pedagang, jadi penggembala dan menjadi apapun itu  maka Rasulullah pernah mengalami itu semua.

Kalau pun Rasulullah belum mengalami apa yang sedang kita alami, maka banyak contoh dari kehidupan para sahabat, para tabi'in serta para Tabi'it Tabi'in yang mana Rasulullah menyatakan bahwa mereka adalah umat terbaik pertama, umat terbaik kedua dan umat terbaik ketiga yang dapat dijadikan contoh bagi umat muslim setelahnya.

Berbagai dalil terkait hal ini, diantaranya adalah

“Sesungguhnya pada diri Rasulullah ada teladan yang baik bagimu, yaitu bagi orang yang mengharap Allah dan hari akhir serta banyak berdzikir kepada Allah.” (Al-Ahzab: 21)

Rasul telah beriman kepada al-Qur’an yang diturunkan kepadanya dari Rabbnya, demikian pula orang-orang yang beriman.” [Al-Baqarah : 285]

Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha terhadap mereka dan mereka ridha kepada Allah. Allah menyediakan bagi mereka Surga-Surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemeangan yang besar.” [At-Taubah: 100]

“Sebaik-baik manusia adalah pada masaku ini (yaitu masa para Shahabat), kemudian yang sesudahnya, kemudian yang sesudahnya. Setelah itu akan datang suatu kaum yang persaksian salah seorang dari mereka men-dahului sumpahnya dan sumpahnya mendahului persaksiannya.” ( Syarhus Sunnah, oleh Imam al-Baghawy, tahqiq: Syu’aib al-Arnauth dan Muhammad Zuhair asy-Syawaisy, cet. Al-Maktab al-Islamy, th. 1403 H).

Kata Shahabat Ibnu Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu:

إِنَّ اللهَ نَظَرَ إلَى قُلُوْبِ الْعِبَادِ، فَوَجَدَ قَلْبَ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَيْرَ قُلُوْبِ الْعِبَادِ فَاصْطَفَاهُ لِنَفْسِهِ، فاَبْتَعَثَهُ بِرِسَالَتِهِ، ثُمَّ نَظَرَ فِي قُلُوْبِ الْعِبَادِ، بَعْدَ قَلْبِ مُحَمَّدٍ، فَوَجَدَ قُلُوْبَ أَصْحَابِهِ خَيْرَ قُلُوْبِ الْعِبَادِ فَجَعَلَهُمْ وُزَرَاءَ نَبِيِّهِ، يُقَاتِلُوْنَ عَلَى دِيْنِهِ، فَمَا رَأَى الْمُسْلِمُوْنَ حَسَناً فَهُوَ عِنْدَ اللهِ حَسَنٌ، وَمَا رَأَوْا سَيِّئاً فَهُوَ عِنْدَ اللهِ سَيِّئٌ.

“Sesungguhnya Allah melihat hati hamba-hamba-Nya dan Allah mendapati hati Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah sebaik-baik hati manusia, maka Allah pilih Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai utusan-Nya. Allah memberikan risalah kepada-nya, kemudian Allah melihat dari seluruh hati hambah-hamba-Nya setelah Nabi-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka didapati bahwa hati para Shahabat merupakan hati yang paling baik sesudahnya, maka Allah jadikan mereka sebagai pendamping Nabi-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mereka berperang atas agama-Nya. Apa yang dipandang kaum Muslimin (para Shahabat Rasul) itu baik, maka itu baik pula di sisi Allah dan apa yang mereka (para Shahabat Rasul) pandang jelek, maka di sisi Allah itu jelek.” (Hr.an-Nasaa-i)



“Berkata al-‘Irbadh bin Sariyah radhiyallahu ‘anhu: ‘Suatu hari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat bersama kami, kemudian beliau menghadap kepada kami dan memberikan nasehat kepada kami dengan nasehat yang menjadikan air mata berlinang dan membuat hati bergetar, maka seseorang berkata: ‘Wahai Rasulullah, nasehat ini seakan-akan nasehat dari orang yang akan berpisah, maka berikanlah kami wasiat.’ Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Aku wasiatkan kepada kalian supaya tetap bertaqwa kepada Allah, tetaplah mendengar dan taat, walaupun yang memerintah kamu adalah seorang budak Habasiyyah. Sungguh, orang yang masih hidup di antara kalian setelahku maka ia akan melihat perselisihan yang banyak, maka wajib atas kalian berpegang teguh kepada Sunnahku dan sunnah Khulafaur Rasyidin yang mendapat petunjuk. Gigitlah dia dengan gigi gerahammu. Dan jauhilah oleh kalian perkara-perkara yang baru, karena sesungguhnya setiap perkara yang baru itu adalah bid’ah. Dan setiap bid’ah adalah sesat.’ ( Shahih Muslim.)

“Allah tidak membebani seseorang kecuali sesuai dengan batas kemampuannya. Baginya ganjaran untuk apa yang diusahakannya, dan ia akan mendapat siksaan untuk apa yang diusahakannya. Dan mereka berkata, Ya Tuhan kami, janganlah Engkau menghukum kami jika kami lupa atau kami berbuat salah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau membebani kami tanggung jawab seperti Engkau telah bebankan atas orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan kami janganlah Engkau membebani kami apa yang kami tidak kuat menanggungnya; dan ma’afkanlah kami dan ampunilah kami serta kasihanilah kami kerana Engkaulah Pelindung kami, maka tolonglah kami terhadap kaum kafir.” (Al Baqarah : 287)

Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda, “Apa yang aku larang hendaklah kalian menjauhinya, dan apa yang aku perintahkan maka lakukanlah semampu kalian. Sesungguhnya binasanya orang-orang sebelum kalian adalah karena mereka banyak bertanya dan karena penentangan mereka terhadap para nabi mereka” (HR. Bukhari dan Muslim)

Jadi dalam keadaan apapun kita saat ini, baik kita laki-laki atau perempuan, orang yang baru baligh ataupun sudah berumur, sebagai seorang anak atau orang tua, sebagai pemimpin ataupun rakyat biasa, sebagai suami ataupun istri, sebagai orang kaya atau miskin, sebagai orang yang sehat ataupun sakit, sebagai orang yang cerdas ataupun biasa2, serta sebagai apapun diri kita saat ini, pada dasarnya kita bisa meraih menjadi seorang muslim yang kaffah sesuai kondisi kita saat ini.

Untuk mencapai islam yang kaffah sesuai yang kita mampu dan kondisi kita maka kita harus berusaha mempelajari, dan memahami al-quran, hadist, sejarah hidup Rasulullah, sejarah hidup para sahabat serta sejarah hidup para tabi'in serta para tabi'i tabi'in. Lalu contohlah kehidupan mereka yang sesuai dengan kondisi kita saat ini.

Semoga Allah memberikan petunjuk pada kita semua sehingga kita bisa menjadi seorang muslim yang kaffah sesuai kondisi yang kita alami dan semoga kita dianugerahi oleh-Nya sebagai salah seorang ahli surga yang bisa berkumpul bersama Rasulullah, para sahabat dan orang2 shaleh sebelum kita yang telah meninggalkan dunia ini dengan husnul khatimah, Aamiin..aamiin..aamiin..yra

(Gantira, 19 Juli 2017, Bogor)

Monday 17 July 2017

Tiga Hal Penting yang Jarang Dimanfaatkan oleh Ikhwan Muslim Saat ini

Pada masa-masa saat ini, ada 3 hal penting yang jarang dimanfaatkan oleh para ikhwan, yaitu:

1. Shalat sunat isyraq

yaitu shalat sunat dua rakaat yang dilaksanakan sekitar 1,5 jam kurang setelah shalat subuh (saya pernah menghitung2 untuk daerah bogor tepatnya sekitar setelah 1 jam 20 menit setelah waktu adzan subuh)

Dimana setelah shalat subuh di mesjid kita tetap di tempat duduk sambil berzikir atau berdoa atau baca al-quran. Lalu saat tiba waktu suruq baru shalat dua rakaat.

Pahala yang didapat dengan hanya shalat dua rakaat ini adalah bagaikan pahala haji dan umrah.

Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu dia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

« ﻣَﻦْ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟْﻐَﺪَﺍﺓَ ﻓِﻰ ﺟَﻤَﺎﻋَﺔٍ ﺛُﻢَّ ﻗَﻌَﺪَ ﻳَﺬْﻛُﺮُ ﺍﻟﻠَّﻪَ ﺣَﺘَّﻰ ﺗَﻄْﻠُﻊَ ﺍﻟﺸَّﻤْﺲُ ﺛُﻢَّ ﺻَﻠَّﻰ ﺭَﻛْﻌَﺘَﻴْﻦِ ﻛَﺎﻧَﺖْ ﻟَﻪُ ﻛَﺄَﺟْﺮِ ﺣَﺠَّﺔٍ ﻭَﻋُﻤْﺮَﺓٍ ﺗَﺎﻣَّﺔٍ ﺗَﺎﻣَّﺔٍ ﺗَﺎﻣَّﺔٍ »

“ Barangsiapa yang shalat subuh berjamaah, kemudian dia duduk – dalam riwayat lain: dia menetap di mesjid [1] – untuk berzikir kepada Allah sampai matahari terbit, kemudian dia shalat dua rakaat, maka dia akan mendapatkan (pahala) seperti pahala haji dan umrah, sempurna sempurna sempurna“ (HR at-Tirmidzi (no. 586), dinyatakan hasan oleh at-Tirmidzi dan syaikh al-Albani dalam “Silsilatul ahaditsish shahihah” (no. 3403).

Coba bayangkan, pahala haji dan umrah yang begitu makan biaya bisa kita ditandingi dengan hanya shalat sunat isyraq 2 rakaat.
Bila tiap hari dilakukan berarti bisa tiap hari dapat pahala haji dan umrah.

Mungkin salah satu alasan utama para ikhwan atau bapak2  jarang memanfaatkan kesempatan emas ini adalah karena bertepatan dengan waktu kerja. Kalau memang seperti itu, kenapa tidak memaksakan diri saat waktu libur, yaitu hari sabtu atau minggu. Jadi minimal seminggu sekali bisa dapat pahala haji dan umrah.

2. Berdiam diri dan berzikir  setelah shalat maghrib sambil menunggu waktunya isya.

 Kalau kita tetap diam di mesjid sambil berzikir menunggu shalat isya, maka diamnya kita dianggap sebagai dalam kondisi shalat.

Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أَحَدُكُمْ مَا قَعَدَ يَنْتَظِرُ الصَّلاَةَ فِيْ صَلاَةٍ مَا لَمْ يُحْدِثْ تَدْعُوْ لَهُ الْمَلاَئِكَةُ :اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لَهُ اَللَّهُمَّ ارْحَمْهُ.”

“Tidaklah seseorang di antara kalian duduk menunggu shalat, selama ia berada dalam keadaan suci, melainkan para Malaikat akan mendo’akannya: ‘Ya Allah, ampunilah ia. Ya Allah, sayangilah ia.’”  (Shahiih Muslim, kitab al-Masaajid wa Mawaadhi’ush Shalaah bab Fadhlu Shalaatil Jamaa’ah wa Intizhaarish Shalaah (I/460 no. 469 (276)).

Imam Ibnu Khuzaimah juga meriwayatkan hadits ini dalam kitab Shahiihnya dan memberinya judul: “Bab Keutamaan Duduk di Masjid dalam Rangka Menunggu Shalat, Shalawat Malaikat dan Do’a Malaikat kepadanya, Selama Ia Tidak Mengganggu Orang Lain dan Selama Wudhu’nya Tidak Batal.”  (Shahiih Ibni Khuzaimah, kitab al-Imaamah fish Shalaah (II/ 376).)

Sungguh sebuah amal yang sangat mudah dilakukan, tetapi pahalanya sangatlah besar. Seseorang duduk dalam keadaan berwudhu’ untuk menunggu datangnya waktu shalat, maka seakan-akan ia berada dalam shalat dan para Malaikat mendo’akannya agar ia mendapatkan ampunan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala dan kasih sayang -Nya.

Daripada kita pulang setelah shalat maghrib, setelah sampai rumah sudah tiba adzan isya lagi. Atau kalaupun di rumah baca al-quran hanya bisa beberapa ayat mending bacanya di mesjid. Insya Allah bisa menamatkan 1 juz baca al-quran. Selain itu kalau pulang ke rumah biasanya sih bawaannya pingin berleha2... sungguh kesempatan yang sering diabaikan.

3. Berdiam diri di mesjid pada hari jumat setelah shalat ashar.

 Karena pada waktu tersebut ada waktu  yang doanya pasti di istazab.

Dalam sebuah hadist disebutkan:
"Di hari Jumat terdapat suatu waktu yang tidaklah seorang hamba muslim yang ia berdiri melaksanakan shalat lantas dia memanjatkan suatu doa pada Allah bertepatan dengan waktu tersebut melainkan Allah akan memberi apa yang dia minta.” (HR. Bukhari 935, Muslim 2006, Ahmad 10574 dan yang lainnya).

Ada beberapa pendapat ulama tentang waktu mustajab tersebut, yaitu antara duduknya imam sampaii selesainya shalat jumat dan pendapat satu lagi adalah setelah asar.

Tapi dalil yang paling mendekati kebenaran adalah setelah ashar.

Hadis dari Abdullah bin Sallam Radhiyallahu ‘anhu, beliau pernah bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam,

“Kami menjumpai adalam kitabullah, bahwa di hari jumat ada satu waktu, apabila ada seorang hamba beriman melakukan shalat bertepatan dengan waktu tersebut, kemudian memohon kepada Allah, maka Allah akan penuhi permohonannya.”

Kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berisyarat kepadaku, ‘Itu hanya sebentar?’

‘Anda benar, hanya sebentar.’ Jawab Abdullah bin Sallam.

Lalu Abdullah bertanya, ‘Kapan waktu itu’

Jawab beliau,

هِيَ آخِرُ سَاعَاتِ النَّهَارِ

“Itu adalah waktu di penhujung hari.”

‘Bukankah itu waktu larangan shalat?’

Jawab Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam,

بَلَى ، إِنَّ الْعَبْدَ الْمُؤْمِنَ إِذَا صَلَّى ثُمَّ جَلَسَ لَا يَحْبِسُهُ إِلَّا الصَّلَاةُ ، فَهُوَ فِي الصَّلَاةِ

“Benar, namun ketika seorang hamba melakukan shalat (di awal asar), lalu dia duduk menunggu shalat berikutnya, dia terhitung sedang melakukan shalat.” (HR. Ibn Majah 1139)


Bagaimana dengan ibu2?

Kalau menurut saya, untuk ibu2 cukup melaksanakan ibadah wajib lalu taat pada suami maka bisa masuk pintu surga mana saja.

Dan kalau suaminya mendapatkan surga yang sangat tinggi maka istrinya tinggal ikut saja. Nah, jadi tugas utamanya adalah mendorong dan menyemangati suaminya agar lebih rajin ibadah lagi sehingga nanti di akhirat kelak istrinya pun bisa ikut menikmati surga yang diraih oleh suaminya...

(Gantira, 17 Juli 2017, Bogor)