Thursday 31 March 2016

"Sebuah Konsekuensi"

"Sebuah Konsekuensi"

Segala sesuatu itu ada konsekuensinya. Dan umumnya, yang namanya konsekuensi diartikan sebagai kebalikan dari yang telah dilakukannya.

Konsekuensi orang yang memiliki harta berlimpah adalah harus rela mengeluarkan sebagian hartanya minimal untuk zakatnya. Bila enggan maka konsekuensinya adalah ancaman panasnya api neraka. Disamping itu, konsekuensi yang dialami oleh orang yang berlimpah harta adalah lamanya penghisaban.

Orang yang disempitkan hartanya, selama di dunia ini mengalami berbagai macam kesulitan, baik itu terhalangnya pemenuhan keinginan dan kebutuhan kita ataupun dipandang sebelah mata oleh orang yang ekonominya lebih mapan. Namun walaupun demikian, konsekuensi orang yang disempitkan hartanya adalah tidak ada kewajiban zakat padanya serta mengalami perhitungan yang mudah pada hari penghisaban kelak. 

Jadi secara umum segala sesuatu yang kita terima itu ada konsekuensinya yang datangnya berlawanan dari apa yang kita terima saat itu.

Namun ada beberapa sikap yang membuat konsekuensinya tidak berlawanan tapi malah searah dan mendukung terhadap apa yang kita lakukan. Konsekuensi yang hasilnya searah adalah konsekuensi dari sikap bersyukur terhadap nikmat yang ada, dan juga konsekuensi dari sikap berkeluh kesah terhadap kesulitan yang dialami.

Karena seberapa besar pun nikmat yang diterimanya, jika dia bersyukur maka nikmatnya akan terus bertambah dan di hari kehidupan abadi nanti akan ditambah nikmat tersebut tanpa batas. Serta seberapa besar pun penderitaan yang dialaminya jika dia terus mencela dan mengeluh maka konsekuensinya akan terus mengalami penderitaan yang tidak ada ujungnya.

Jadi kesimpulannya adalah agar konsekuensi yang kita alami selalu mendapatkan kebaikan maka ambillah sikap syukur bila nikmat yang datang sehingga akan mendapatkan konsekuensi yang searah yaitu kenikmatan itu akan terus bertambah, serta hadapilah dengan bersabar dan ridho jika yang datang pada kita adalah kesengsaraan sehingga akan mendapatkan ganti konsekuensi sebaliknya yaitu kebahagiaan. 

Jauhilah sikap kufur nikmat karena konsekuensi yang akan kita dapatkan adalah sebaliknya, dimana akan segera datang kesengsaraan yang tidak tahu ujung nya. Serta jauhi juga sikap berkeluh kesah dan putus asa terhadap setiap kesulitan yang kita alami karena konsekuensinya adalah searah dengan penderitaan tersebut yaitu kesulitan akan semakin berat tanpa diketahui solusinya.

(Gantira, 1 April 2016, Bogor)

"Tujuan Utama Kehidupan Manusia"

Tujuan utama manusia diciptakan di dunia ini bukanlah semata2 untuk bersenang2 dengan berbagai kenikmatan atau merasakan dengan berbagai kesengsaraan belaka.

Tapi tujuan utama diciptakan manusia di dunia ini adalah untuk beribadah kepada Allah. Untuk tujuan ini, maka Allah menjamin rizkinya sampai masa hidupnya di dunia ini selesai.

Ibadah kepada-Nya itu adalah berupa taat pada semua perintah-Nya dan menjauhi pada semua larangan-Nya.

Saat mendapatkan kondisi berupa berbagai kenikmatan, maka perintah ibadah kepadanya adalah bersyukur. Sedangkan bila mendapatkan kondisi berupa kesengsaraan maka perintah ibadah kepadanya berupa bersabar.

Berbagai contoh bentuk ibadah bersyukur itu adalah menunaikan zakat dan shadaqah terhadap kelebihan hartanya, shalat wajib dan sunat sesempurna mungkin sesuai yang dicontohkan Rasulullah terhadap kesehatan yang didapatkannya, serta banyak lagi  zikir dan lainnya sebagai bentuk ibadah syukur atas berbagai ujian kenikmatan yang diterimanya.

Sedangkan berbagai bentuk ibadah sabar itu adalah ridho terhadap sakit yang dialaminya sambil terus berobat, melaksanakan shalat wajib dan sunat sesuai kondisi yang dialaminya serta banyak lagi zikir dan lainnya sebagai bentuk ibadah sabar terhadap berbagai ujian kesengsaraan yang dialaminya.

Untuk itu kita perlu mencari  ilmu agama sebanyak2nya agar bisa dengan mudah dalam menentukan skala prioritas ibadah yang dapat kita lakukan dalam berbagai kondisi ujian yang sedang kita jalani. Karena bila kita salah dalam menentukan skala prioritas ibadah yang sedang kita hadapi maka hasilnya bisa jadi tidak sesuai dengan aturan-Nya.

Sebagai contoh bila seseorang diuji dengan harta berlimpah maka skala prioritas ibadahnya adalah zakat, shadaqah serta banyak lagi aktifitas ibadah yang bisa dilakukan dengan titipan harta ini. Adalah kurang tepat, jika dia kikir dalam membelanjakan zakat dan shadaqah hartanya dan lebih memilih ibadah lain yang dilakukan oleh orang2 yang tidak berharta seperti lebih mementingkan shalat sunat sebanyak2nya dengan mengingkari zakat dan shadaqah.

Begitu juga bagi orang yang diuji dengan sempitnya harta, maka bentuk skala prioritas ibadah yang dilakukannya adalah bersabar dan ridho dengan kondisi yang ada serta tatap berusaha mengkonsumsi harta yang halal. Dan bisa meningkatkan amal ibadahnya dengan menggunakan tenaga serta ibadah sunat lainnya yang mampu dia lakukan.

Jadi dalam kondisi apapun pada dasarnya kita tetap bisa beribadah kepada-Nya karena memang tujuan utama manusia diciptakan ke dunia ini adalah untuk beribadah kepada-Nya.

(Gantira, 1 April 2016, Bogor)

Peluang Dalam Mendidik Anak"

Peluang itu ada hubungannya dengan waktu. Sedangkan yang namanya waktu tidak bisa di ulang, dia akan terus berjalan dari detik demi detik, menit  demi menit, jam demi jam bahkan dari tahun demi tahun.

Sehingga dengan demikian maka yang namanya peluang itu tidak bisa di ulang, yang ada adalah adanya peluang lain yang tidak percis sama dengan peluang yang pertama.

Selama kita masih di dunia, maka peluang itu akan selalu ada, namun sayangnya bentuk dan perjuangan untuk menghadapinya berbeda2 sesuai dengan waktu dan kondisi  yang ada.

Sebagai contoh dalam mendidik anak. Peluang emas untuk mendidik mereka dengan benar adalah pada saat kekuatan mereka masih di bawah kekuatan kita, baik dari segi cara berfikir, tenaga, ataupun kekuatan fisik lainnya.

Saat mereka belum baligh atau baru menginjak baligh maka saat itu adalah peluang kita untuk mendidik mereka dengan benar. Sehingga mereka bisa kita arahkan atau kalau mereka membandel kita masih memiliki kekuatan untuk menghukum mereka sampai mereka mengikuti apa yang kita arahkan. Kemudahan ini terjadi karena mereka merasa masih membutuhkan kita dan merasa lebih lemah dari kita dalam segala hal.

Namun jika kita menyia2kan peluang ini, dimana kita membiarkan dan membebaskannya sesuai kehendak mereka maka saat mereka sudah besar dan kekuatan nya sudah di atas kita. Maka saat itu peluang untuk mendidik mereka semakin berat. Dimana mereka tidak lagi merasa takut atau segan pada perintah kita. Bisa jadi, saat itu dalam pandangan mereka, kita lebih lemah dari mereka sehingga  akan sulit untuk mendidik mereka.

Para ulama terdahulu, membagi masa pendidikan anak anak dalam 3 interval, yaitu masa bermain dengan mereka di saat usia antara 0- 7 tahun, masa mendidik mereka dengan tegas dan terarah di saat usia antara 7- 14 tahun, masa berdiskusi dengan mereka di saat usia antara 14 - 21 tahun, dan masa memberikan kebebasan kepada mereka di saat usia di atas 21 tahun karena mereka telah diberi bekal ilmu yang cukup.

Jadi jangan pernah menyia-nyiakan peluang dalam mendidik dan membentuk karakter anak2 kita agar setelah dewasa dia memiliki karakter sesuai yang kita harapkan.

(Gantira, 1 April 2016, Bogor)