Sunday, 6 September 2015

6. TAWADHU

A. Arti , Makna dan Hakikat Tawadhu

Tawadhu’ adalah lawan kata dari takabbur (sombong).

Tawadhu’ merupakan sikap pertengahan antara sombong dan melecehkan diri. Sombong berarti mengangkat diri terlalu tinggi hingga lebih dari yang semestinya. Sedangkan melecehkan yang dimaksud adalah menempatkan diri terlalu rendah sehingga sampai pada pelecehan hak

Seseorang belum dikatakan tawadhu’ kecuali jika telah melenyapkan kesombongan yang ada dalam dirinya. Semakin kecil sifat  kesombongan dalam diri seseorang, semakin sempurnalah ketawadhu’annya dan begitu juga sebaliknya.

Barangsiapa yang tawadhu niscaya Allah akan mengangkat kedudukannya di mata manusia di dunia dan di akhirat dalam surga. Karenanya tidak akan masuk surga orang yang di dalam hatinya ada kesombongan sekecil apapun, karena negeri akhirat beserta semua kenikmatannya hanya Allah peruntukkan bagi orang yang tidak tinggi hati dan orang yang tawadhu’ kepada-Nya.


Tawadhu’ adalah sikap rendah hati, namun tidak sampai merendahkan kehormatan diri dan tidak pula memberi peluang orang lain untuk melecehkan kemuliaan diri.

Tawadhu secara bahasa bermakna dengan “merendahkan hati “.

Tawadhu, hakikatnya hanya ditujukan kepada Allah saja yaitu dengan meyakini dengan kesadaran yang penuh bahwa sebagai makhluk kita ini lemah dan tidak berdaya dibanding dengan kekuasaan Allah SWT. Termasuk di dalam sifat tawadhu ini adalah kerelaan hati untuk menerima kebenaran apapun bentuk dari kebenaran itu tanpa memandang dari mana kebenaran itu berasal..

 “Sombong adalah menolak kebenaran dan meremehkan manusia.” ( HR : Imam Muslim )


Selanjutnya, perlu difahami bahwa walau hakikat tawadhu itu hanya ditujukan kepada Allah saja ; sebagai bukti ketundukan dan ketertundukan seorang hamba terahadap Tuhannya, sifat tawadhu harus bisa dibuktikan dalam praktek keseharian ketika bermuamalah dengan sesama manusia.

“ Dan janganlah kamu berjalan di muka bumi ini dengan sombong, karena sesungguhnya kamu sekali-kali tidak dapat menembus bumi dan sekali-kali kamu tidak akan sampai setinggi gunung ( QS : 017 : Al – Israa’ : Ayat : 037 )

Sadarilah bahwa sesungguhnya diri kita ini hina karena yang mulia hanyalah Allah. Sebagai makhluk, manusia berasal dari setetes air mani.

Sadarilah bahwa sesungguhnya diri kita ini faqir karena yang kaya hanyalah Allah. Sedangkan hakikat kekayaan itu adalah kebutuhan. Orang miskin itu mempunyai kebutuhan yang lebih banyak sebanyak yang tidak dia miliki, sehingga semakin kaya seseorang itu ketika yang dia butuhkan semakin sedikit. Sedangkan Allah sedikitpun tidak membutuhkan apapun. Allah Maha Kaya Raya. Seluruh kekayaan hanyalah milk Allah. Kitalah yang selalu membutuhkan Allah

Sadarilah bahwa sesungguhnya diri kita ini bodoh karena yang Maha Mengetahui itu hanyalah Allah. Sedikit ilmu yang ada pada kita hanya sekedar titipan dari Allah yang dapat diambil kapan saja.

Sadarilah bahwa sesungguhnya diri kita ini lemah karena yang Maha Kuat itu hanyalah Allah. Tidak ada seorangpun atau satu kaum pun di dunia ini cukup kuat untuk mampu bertahan selamanya tanpa dimakan waktu dan usia. Betapa banyak legenda tentang kejayaan para raja masa lalu yang berkuasa begitu hebatnya, tetapi sekarang hanya tinggal kenangan dan catatan sejarah saja. Hanya kekuasaan Allah yang abadi.


B.  Pendapat Sahabat dan Ulama Shaleh Terdahulu

1)  Abu Bakr Ash Shiddiq berkata, “Kami dapati kemuliaan itu datang dari sifat takwa, qona’ah (merasa cukup) muncul karena yakin (pada apa yang ada di sisi Allah), kedudukan mulia didapati dari sifat tawadhu’.”

2) Al Hasan Al Bashri berkata, “Tahukah kalian apa itu tawadhu’? Tawadhu’ adalah engkau keluar dari kediamanmu lantas engkau bertemu seorang muslim. Kemudian engkau merasa bahwa ia lebih mulia darimu.”

3)  Imam Asy Syafi’i berkata, “Orang yang paling tinggi kedudukannya adalah orang yang tidak pernah menampakkan kedudukannya. Dan orang yang paling mulia adalah orang yang tidak pernah menampakkan kemuliannya.” (Syu’abul Iman, Al Baihaqi, 6: 304)

4) Basyr bin Al Harits berkata, “Aku tidaklah pernah melihat orang kaya yang duduk di tengah-tengah orang fakir.” Yang bisa melakukan demikian tentu yang memiliki sifat tawadhu’.

5) Abdullah bin Al Mubarrok berkata, “Puncak dari tawadhu’ adalah engkau meletakkan dirimu di bawah orang yang lebih rendah darimu dalam nikmat Allah, sampai-sampai engkau memberitahukannya bahwa engkau tidaklah semulia dirinya.” (Syu’abul Iman, Al Baihaqi, 6: 298)

6) ‘Urwah bin Al Warid berkata, “Tawadhu’ adalah salah satu jalan menuju kemuliaan. Setiap nikmat pasti ada yang merasa iri kecuali pada sifat tawadhu’.”


7) Ziyad An Numari berkata, “Orang yang zuhud namun tidak memiliki sifat tawadhu adalah seperti  yang tidak berbuah.”


8) Dan Ibnu Hibban rahimahullah berkata, “Bagaimana tidak harus tawadhu, sedangkan dia tercipta dari nutfah yang memancar dan akhirnya kembali menjadi bangkai yang busuk, sementara semasa hidupnya ia senantiasa membawa kotoran.” (kitab Raudhatun ‘Uqalaa’ wa Nuzhatul Fudhalaa’ hal 61 )

9) Hajar berkata, “Tawadhu’ adalah menampakkan diri lebih rendah pada orang yang ingin mengagungkannya. Ada pula yang mengatakan bahwa tawadhu’ adalah memuliakan orang yang lebih mulia darinya.” (Fathul Bari, 11: 341)

10) Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan “Salah satu tanda kebahagiaan dan kesuksesan adalah tatkala seorang hamba semakin bertambah ilmunya maka semakin bertambah pula sikap tawadhu’ dan kasih sayangnya.... Dan tanda kebinasaan yaitu tatkala semakin bertambah ilmunya maka bertambahlah kesombongan dan kecongkakannya..."

11) “Tanamlah wujudmu di dalam bumi ketidakterkenalan,
karena pohon yang tidak tertanam itu tidak akan sempurna buahnya”
(Imam Ibnu Athaillah / Al-Hikam : 11)

12) Dalam kitab tahzib al-akhlak, Ibnu Maskawaih berkata,”Orang yang pandai dan terhormat seharusnya terhindar dari sifat takabur dan bangga terhadap diri sendiri."

13) Ahmad Al Anthaki berkata: “Tawadhu’ yang paling bermanfaat adalah yang dapat mengikis kesombongan dari dirimu dan yang dapat memadamkan api (menahan) amarahmu”.


C. Keutamaan Tawadhu

1) Mendapatkan kemuliaan di dunia dan akhirat.

Dari Abu Hurairah, ia berkata bahwa Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَا نَقَصَتْ صَدَقَةٌ مِنْ مَالٍ وَمَا زَادَ اللَّهُ عَبْدًا بِعَفْوٍ إِلاَّ عِزًّا وَمَا تَوَاضَعَ أَحَدٌ لِلَّهِ إِلاَّ رَفَعَهُ اللَّهُ

“Sedekah tidaklah mengurangi harta. Tidaklah Allah menambahkan kepada seorang hamba sifat pemaaf melainkan akan semakin memuliakan dirinya. Dan juga tidaklah seseorang memiliki sifat tawadhu’ (rendah diri) karena Allah melainkan Allah akan meninggikannya.” (HR. Muslim no. 2588).


2) Sebab adil, disayangi, dicintai di tengah-tengah manusia.

Orang tentu saja akan semakin menyayangi orang yang rendah hati dan tidak menyombongkan diri. Itulah yang terdapat pada sisi Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda,

وَإِنَّ اللَّهَ أَوْحَى إِلَىَّ أَنْ تَوَاضَعُوا حَتَّى لاَ يَفْخَرَ أَحَدٌ عَلَى أَحَدٍ وَلاَ يَبْغِى أَحَدٌ عَلَى أَحَدٍ

“Dan sesungguhnya Allah mewahyukan padaku untuk memiliki sifat tawadhu’. Janganlah seseorang menyombongkan diri (berbangga diri) dan melampaui batas  pada yang lain.” (HR. Muslim no. 2865)

Kata Penutup

Untuk kata penutup materi ini, di akhiri dengan doa:

"Ya Allah, muliakanlah kami dengan sifat tawadhu’ dan jauhkanlah kami dari sifat sombong.

اللّهُمَّ اهْدِنِى لأَحْسَنِ الأَخْلاَقِ لاَ يَهْدِى لأَحْسَنِهَا إِلاَّ أَنْتَ

“Allahummah-diinii li-ahsanil akhlaaqi, laa yahdi li-ahsaniha illa anta (Ya Allah, tunjukilah padaku akhlaq yang baik. Tidak ada yang dapat menunjuki pada baiknya akhlaq tersebut kecuali Engkau)” (HR. Muslim no. 771).

No comments: