Tuesday, 1 November 2016

"Kecenderungan Jiwa Kita"

Kenapa kita dilarang mendekati jina? karena kecenderungan jiwa manusia itu lebih condong melakukan kemaksiatan dibandingkan dengan melakukan kebaikan.

Perbuatan maksiat bagaikan kutub magnet negatif yang memiliki kekuatan magnet lebih besar dari kutub magnet positif. Sedangkan jiwa kita bagaikan besi yang mudah ditarik kemana saja, baik magnet negatif maupun positif.

Namun karena magnet negatif kekuatannya lebih besar daripada magnet positif, sehingga bila jiwa kita diletakkan pada posisi seimbang antara magnet negatif yang berada disebelah kiri dan magnet positif yang berada disebelah kanan, maka kecenderungan jiwa kita akan condong sedikit demi sedikit bergeser ke arah magnet negatif.

Jadi bila kita ingin terhindar dari tarikan magnet negatif, maka kita awalnya harus memaksakan diri agar lebih dekat pada magnet positif dan menghalau magnet negatif dengan cara menjauhi, memberikan filter atau alat apa saja yang dapat meredam dan menghilangkan pengaruh magnet negatif sehingga akhirnya kita merasa senang dan menikmati kedekatan dengan magnet positif.

Ingatlah salah satu kisah seseorang yang telah membunuh 100 orang. Ternyata dosanya bisa diampuni jika dia meninggalkan lingkungannya yang penuh dengan perbuatan negatif dan berpindah ke lingkungan yang penuh dengan perbuatan positif.

Sebagaimana yang dijelaskan ayat2-Nya:

"Dan syaitan menjadikan mereka memandang baik perbuatan-perbuatan (buruk) mereka, lalu ia menghalangi mereka dari jalan (Allah), padahal mereka adalah orang-orang berpandangan tajam" (Al-Ankabut: 38).

"Dan Aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha penyanyang." (Yusuf: 53).

“Aku bersumpah dengan jiwa yang menyesali (dirinya sendiri)”. ( Qs. al qiyamah ayat 2)

Al Qurthubi  mengutip perkataan Mujahid dalam tafsirnya tentang jiwa yang menyesali diri, “ ia adalah jiwa yang mengecam segala sesuatu yang lepas terlewat dan menyesalinya, ia mengecam dirinya atas keburukan yang dilakukannya, ia mengecam dirinya pula ketika berbuat kebaikan dengan perasaan kurang sempurna dan kurang optimal. (Syamsuddin al Qurthubi: al Jami’ li Ahkam al Qur’an. Qahirah: Daar al Kutub al Mishriyah, 1384 H, Jilid 19, hlm 193)

(Gantira, 1 November 2016)

No comments: